Mereka juga tidak mampu mendapatkan calon wakil presiden dari para kader partai koalisi karena konflik kepentingan syahwat politik anggota partai anggota koalisi itu berlangsung sangat masif. Pun mereka tak mampu mendapatkan alternatif cawapres dari dari luar partai-partai koalisi.
Akhirnya "terpilih" lah Sandi. Supaya tak tampak incest politik, atau agar terlihat bahwa Sandi berasal dari luar koalisi, maka Sandi mundur dari keanggotaan partai Gerindra. Â
Secara formil, ini taktik jitu namun citra incest politik tak bisa hilang karena Sandi sangat identik dengan Gerindra sampai kapanpun. Incest politik ini makin tak sedap karena Sandi memberikan uang 500 Milyar kepada PAN dan PKS yang tadinya ngotot kadernya jadi cawapres. Kesannya, Sandi membayar harga 1 trilyun agar dia bisa jadi cawapres.
Untuk meredam atau mereduksi bau tak sedap "incest politik" dan "bayar uang 1 triyun" untuk dapatkan posisi calon wakil presiden, maka Sandi mengundurkan diri dari jabatan Wakil Gubernur DKI yang dia sandang sebelumnya. Â
Diberitakan dan dicitrakan lah bahwa hal itu dilakukan sebagai etika politik. Sebagai bentuk keseriusan menghadapi pilpres 2019. Sebagai wujud bukan seorang oportunis yang tamak pada kekuasaan dan jabatan.
Kemudian, lewat gerakan akar rumput, cara ini sekaligus untuk menyerang Jokowi selaku lawan politik. Disuarakan dengan nyaring bahwa Jokowi oportunis dan tamak kekuasaan karena tak mundur sebagai jabatan publik (petahana presiden) selagi mencalonkan diri jadi presiden di Pilpres 2019. Sejumlah elemen massa (lihat aksi Eggi Sudjana plus emak-emak militan) menuntut Presiden Jokowi mundur.Â
Mereka pura-pura tak melihat, bahwa tidak ada aturan dan tradisi presiden harus mundur kalau jadi capres periode berikutnya. Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu tak memuat satu pasal pun yang menyebutkan presiden harus mundur saat jadi calon presiden.
Inginnya Sandi mundur dari jabatan Wagub DKI bisa bercitra positif. Tapi menyerang petahana dengan amunisi yang sama justru jadi blunder karena aturan dan demokrasi terang bendarang di ruang publik.Â
Selain itu catatan kronologis terekam kuat di media dan memori publik, bahwa mundur dari jabatan wakil gubernur dan jadi cawapres dengan cara incest politik dan bayar uang 1 Trilyun merupakan dua hal yang berbeda. Publik tentu cerdas memilahnya.
Gaung suara tentang uang mahar 1 Trilyun dan incest politik jauh lebih nyaring di ruang publik karena munculnya label "Jenderal Kardus" terhadap Prabowo. Adalah partai Demokrat yang "berkhianat" menyuarakan secara keras  soal "Jenderal Kardus".Â
Masuknya demokrat ke dalam kubu Prabowo setelah merendahkan Prabowo dengan sebutan " Jenderal Kardus" bikin aroma tak sedap di tubuh koalisi yang berimbas pada sosok cawapres Sandi.