Dan banyak lagi kalangan di negeri ini, tanpa berbatas status sosial, usia, jenis kelamin, agama dan lain sebagainya.
Bahkan kini dari politikus papan bawah sampai politikus papan atas sangat bernafsu mendekati dan menjadikan "emak-emak" sebagai ceruk suara politik mereka. Bergaulah para tubuh politik itu dengan emak-emak. Mereka tahu begitu banyak ruang terbuka untuk memasuki benteng emak-emak yang seolah tampak kuat.
Emak-emak dipoles dengan bedak cap politik, parfum persoalan domestik, dan kata-kata manis 1000 janji sehingga memunculkan varian baru emak-emak, misalnya : emak-emak militan anu, emak-emak relawan anu, dan lain-lain. Nah, lho....!
Konteks "emak-emak" yang tadinya satu dalam substansi "ibu" menjadi terpecah karena polesan bedak politis. Varian emak-emak itu menjadikan mereka berseberangan dan saling lempar hujatan.Â
Mereka seperti tak lagi ingat  betapa monumentalnya perjuangan merebut eksistensi diri di ruang publik dengan aksi "naik motor metik hidupkan sein kiri tapi belok kanan" sehingga membuat om polisi terpana tak berdaya, dan om Derrida tersipu malu. Heu heu heu!
Kemunculan "emak-emak" perlu kita sambut dengan gembira karena mereka hadir membawakan sukacita untuk semua orang di tengah kesuntukan beragam tema monoton dan menegangkan di  dalam ruang sosial. Sejatinya, terminologi "emak-emak"  tak perlu terpecah-pecah hanya karena rayuan politik praktis.
Emak-emak itu asyiknya sih tetap dalam satu kerangka, yakni EmKRI harga mati (Emak-emak Kesatuan Republik Indonesia)! Heuheu...
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H