Namun pada zaman now, "ibu-ibu" atau "mama-mama" mengalami dekonstruksi yang unik sehingga menjadi "emak-emak" di ruang pergulatan bahasa gaul, dan kemudian menjadi milik semua orang. Kalau saja om Derrida si Bapak dekonstruksi jaman posmodern melihat hal tersebut, mungkin dia akan tersipu malu. Kenapa? Karena dia pasti tahu "the power of emak-emak".
Derrida lebih memilih tersipu malu daripada bersilang bantah dengan emak-emak, karena khawatir diomelin. Sakit sih enggak, tapi malunya itu lho! Lagian, apalah daya seorang Derrida yang cuma bisa berfilsafat di ruang perpustakaan, sementara om polisi di jalanan saja tak berdaya melihat "emak-emak" naik motor metik ngidupin lampu sein kiri tapi beloknya ke kanan.Â
Mungkin om Derrida hanya bisa berucap "That is a real dekonstruction"! mungkin...mungkin lho yaaa...soalnya saya sendiri tidak tahu pasti isi hati dan pikiran om Derrida yang meninggal tahun 2004.
Dari hasil Dekonstruksi, "emak-emak" itu membawa pemberontakan, atau keinginan terbebas dari keterkungkungan dari dunia baku dan kaku.
Istilah "emak-emak" Â seolah jadi produk kultural baru, dan tipe teoritisasi baru tentang dunia sosial masyarakat saat ini. Pen-dekonstruksi-annya merupakan salah satu hasil dari tabiat posmodernisme yang sering mengangkat "masa lalu" atau "yang di belakang" kemudian diolah dan disajikan pada masa kini dalam kemasan yang lebih lentur, tapi juga kaku.Â
Menyolok tapi juga buram --oleh setting beragam peristiwa yang melibatkan emak-emak. Besar tapi juga tidak kecil. Milik orang kota tapi masih kepunyaan orang kampung. Berada di etalase metropolis tapi bernuansa teras desa. Dan lain sebagainya. Begitulah posmodern yang ambigu membawakan "emak-emak" ke ruang publik masa kini.
Beruntunglah dekontruksi-isme yang merupakan anak kandung posmodern mampu mengemas dan membawakannya dengan sangat rileks ke ruang publik, sehingga setiap orang tak lagi mempermasalahkan abiguitas itu---atau bisa jadi pura-pura tak tahu. Mereka tak mau pusing, dan lebih memilih mengunyah dan menikmati kehadiran "emak-emak" secara riang gembira.
Zaman posmodern seperti sekarang ini, keberadaan "emak" kemudian diangkat (kembali) ke dalam kekinian sehingga berada di depan. Istilah "emak-emak" yang dulunya terdengar "ndeso" dan sangat "lokal" kini jadi "nggaya" dan "Indonesia" setelah mampu merebut ruang publik masa kini secara lebih luas.
Dari orang-orang kampung di atas gunung sampai para selebriti terkenal yang malang melintang di panggung hiburan pakai istilah emak-emak di ruang sosialnya.
Dari para orang tak makan sekolah di pinggiran kali berbau sampai kaum intelektual pakai istilah emak-emak di atas menara gadingnya.