Gerakan cepat politikus partai Gerindra Sandiaga Uno "menyogok" PAN dan PKS di penghujung pendaftaran Calon Presiden telah menggemparkan jagad politik negeri ini. Uniknya, kemudian Sandiaga Uno (Gerindra) melakukan itu dengan "membiarkan" Â Andi Arief dari partai Demokrat mempublishnya ke ruang publik sehingga memuculkan "si Jenderal Kardus".Â
Sebuah kehinaan bagi seorang Jenderal yang dikabarkan jago di medan perang tapi nyatanya tak lebih "Kardus".  Rakyat Indonesia  pun tercengang. Tak tanggung-tanggung, uang untuk masing-masing partai yang diberikan sejumlah 500 Milyar. Jadi total uang yang diberikan berjumlah 1 Trilyun!
Gerakan Sandiaga Uno itu membuat PAN dan PKS bagai kehilangan nyali dan patah gigi. Padahal jauh sebelumnya, kedua "Partai Allah" itu berani dan galak menyodorkan kadernya untuk jadi Cawapres mendampingi Prabowo.
Selang waktu "gonggongan galak" PAN dan PKS cukup lama, yang membuat Prabowo bagai tersandera sehingga tidak bisa segera mendaftarkan diri jadi Capres karena lambat menentukan cawapresnya. Bagaimana tidak? Di satu sisi, Gerindra butuh dukungan kedua partai itu, tapi disisi lain kecerewetan keduanya menyodorkan diri untuk mendapatkan "servis lebih" telah membuat Gerindra gerah tapi tak bisa jauh dari pelukan kedua "kekasih" setianya itu.
Adalah partai Demokrat, "si cantik nan seksi " penuh pesona yang datang belakangan memecah kebuntuan itu. Demokrat menyodorkan diri jadi "kekasih Gerindra" dengan menampilkan AHY yang punya penampilan oke di sebagian publik awam politik.Â
Terbentuklah opini  bahwa Prabowo sudah pasti bersanding dengan AHY. Pak SBY yang hampir tak kenal lelah "menjajakan" AHY---anaknya-- untuk jadi pemimpin negeri ini sempat bisa bernafas lega sampai hari jelang pendaftaran Capres/Cawapres. Lega karena AHY bakal maju ke "pelaminan" Capres/Cawapres bersama Prabowo.
Tapi apa yang terjadi? Muncul "Jenderal Kardus"! Istilah dari Andi Arief---petinggi Demokrat---yang sangat kecewa dengan Jenderal Prabowo yang "memilih jadi Jenderal Kardus". Label "Jenderal Kardus" inikah salah satu "The New Prabowo" itu?
Sangat mengherankan, capres Prabowo punya tiga calon cawapres. Tapi yang dipilih adalah anak buah satu partai. Ini seperti "Incest". Melakukan "incest politik" memang tidak tabu dalam dunia politik, tapi berpotensi membentuk pemimpin otoriter, karena tidak adanya keseimbangan politis. Padahal, sharing kekuasaan itu diperlukan untuk keseimbangan kepemimpinan bila kelak terpilih jadi pemimpin negeri ini.Â
Peran PKS dan PAN selaku "kekasih lama" dalam koalisi oposisi menjadi kerdil. Demikian juga Demokrat, yang dipenghujung pendaftaran Capres/Cawapres, mau tidak mau harus berkoalisi karena bila tidak, akan menyulitkan partainya di masa depan. Karena kemungkinan mereka masih tetap ingin AHY maju pada periode setelah 2019-2024.Â
Layak kah Jadi Pemimpin?
Bila melihat drama politik 1 Trilyun Gerindra bersama tiga koalisinya mendekati akhir pencapresan sungguh tak elok. Tak etis. Menyakiti rakyat. Padahal sebagai pihak oposisi mereka sering mengatakan rakyat sedang menderita karena harga-harga kebutuhan pokok naik.Â
Namun dengan gamblangnya Gerindra menggunakan dana 1 Trilyun hanya untuk dua partai saja. Kenapa uang itu tidak untuk bakti sosial yang langsung dinikmati rakyat? Bukankah aksi sosial itu juga bisa membuat nama partainya harum di mata rakyat calon pemilih?
Aksi Sandiaga Uno memberi uang 1 Trilyun dan terciptanya label "Jenderal Kardus" menjadikan rakyat dipertontonkan aksi Capres/Cawapres yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Dengan kata lain, dengan uang itu Prabowo dengan Gerindra dan koalisinya nya telah "mengangkangi" rasa keadilan dan "membodohi" rakyat awam politik.
Uang total 1 Trilyun bukanlah jumlah yang sedikit. Dana sebesar itu kalau mau bisa membangun infrastruktur irigasi, listrik, jalan dan jembatan yang bisa memperkuat perekonomian rakyat kecil pedesaan. Kalau mau, uang itu juga bisa digunakan untuk modal usaha kecil rakyat, perbaikan lingkungan kumuh, atau untuk membeli beras bagi rakyat miskin.Â
Kalau mau, uang itu juga bisa untuk membantu rakyat di Lombok dan Bali yang sedang ditimpa musibah bencana alam. Betapa bahagianya rakyat bila itu dilakukan. Tapi tidak! Karena dana itu hanya untuk sekelompok orang saja, yang haus akan kekuasaan.
Kisah "dramatis" Sandiaga Uno memberikan uang 1 Trilyun telah terjadi. Dan Sandiaga telah mengakui hal itu. Sandiaga bisa saja trindikasi suap karena masih sebagai pejabat publik yakni menjabat Wagub DKI. Untuk mengaitkan dan pembuktian di ranah hukum perlu waktu dan strategi yang tidak mudah.Â
Namun demikian, rakyat telah dipertontonkan drama uang 1 Trilyun pada proses capres dan cawapres Prabowo/Sandiaga Uno. Sehingga opini dan citra telah tterbentuk di ruang publik tentang adanya uang mahar politik kepada PAN dan PKS. Dan tentang "Jenderal Kardus". Bagi logika awam hal itu tidak etis dan sebuah bentuk politik yang buruk, yang inheren dengan suramnya kepemimpinan Prabowo.
Kini rakyat sudah cerdas dalam melihat politik. Semua drama itu akan sangat menentukan pertimbangan rakyat dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden nanti. Kita lihat saja hasilnya nanti.
-----
referensi : kompas.com ; merdeka.com ; detik.com satu, dua, tiga, empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H