Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudah Saatnya KPK Mengelola Lapas Khusus Koruptor

23 Juli 2018   14:23 Diperbarui: 23 Juli 2018   21:29 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; bbc.com

Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap kepala Lapas Sukamiskin dan napi elit koruptor telah menegaskan bahwa kemewahan penjara untuk napi kasus korupsi bukanlah "kabar burung". Sebelumnya sudah sering terdengar di ruang publik bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) untuk para napi elit itu sangat memanjakan penghuninya. Ingat kasus "jalan-jalan" Gayus Tambunan beberapa waktu lalu.

Tak dapat disangkal bahwa mereka yang mendekam di Lapas itu adalah "orang-orang besar" yang punya uang, pernah memegang jabatan tinggi dan memiliki pengalaman birokrasi di tingkat elit negara. Selain itu mereka punya karisma sebagai pemimpin yang kuat. Dengan modal itu, mereka bisa mempengaruhi para pengelola Lapas yang "kasta" nya dibawah mereka.

Sejatinya, hukum tak mengenal kasta. Namun secara psikologis, para pengelola Lapas tak mampu melawan pengaruh kharisma superpower (superioritas) para warga binaannya. Terlebih, di Lapas itu jumlah napi koruptor bukan hanya satu atau dua orang, melainkan ratusan orang. 

Superioritas dan Inferioritas di Lapas  

Ketika para Napi koruptor itu berkumpul sesama mereka, maka "aura" yang tercipta bukanlah kumpulan orang pesakitan hukum, melainkan kumpulan pejabat dan pengusaha kaya raya. Mereka merupakan kumpulan orang yang terbiasa memerintah, dilayani, dan tak mudah tunduk pada "perintah" orang kecil yang "kasta" dalam kepemerintahannya jauh dibawah mereka. Apalagi, sebagai "pakar obok-obok" hukum dan birokasi dan hukum negara, mereka paham bagaimana "mengobok-obok" Lembaga Pemasyarakatan. Mereka hapal "urat geli" pengelolanya, layaknya mereka hapal strategi mengelabui hukum negara saat belum tertangkap KPK.

Faktor psikologis tertentu (yang inferior) para pengelola Lapas terhadap napi koruptor berbeda bila menghadapi napi kriminal kelas teri seperti maling ayam, pencopet, curanmor, perampok dan sejenisnya. Kepada napi jenis ini mereka "bisa galak" dan tampil superior. 

Inferioritas menjadikan sebagian pengelola Lapas tunduk dan pura-pura tidak tahu adanya kongkalikong atasan mereka dengan para napi koruptor itu. Toh kelakuan para para napi koruptor itu di dalam Lapas "baik-baik" saja, tidak bikin rusuh, tidak mungkin berkelahi gegara rebutan makanan, pembawaan tenang, kebapakan, dan ramah. Mereka jauh dari potensi melarikan diri hanya karena kangen istri, rindu keluarga dan kampung halaman, atau untuk mencari kebebasan lain di luar. 

Bagi pengelola lapas, yang penting susana "di dalam aman terkendali".  Pengelola tidak perlu was-was diserang secara tiba-tiba saat berjaga. Hal ini menjadikan mereka "nyaman" bertugas. Dan ketika segala kebutuhan kemewahan disediakan sendiri oleh warga binaannya yang superior itu, mereka bungkam dan permisif terhadap segala permintaan. Tak ada bocoran keluar lingkungan Lapas ketika segala fasilitas mewah itu dibangun warga binaan secara swadaya  

Berbeda halnya bila napi kelas teri menuntut "dimanusiakan" soal fasilitas kamar, jam besuk, makanann dan perlakuan--yang kesemuanya harus dianggarkan lembaga. Hal ini bikin repot karena berbagai keterbatasan. Belum lagi rasa was-was bertugas karena potensi "keganasan" napi kelas teri itu.

suasana lingkungan dalam Lapas Sukamiskin. Sumber gambar ; jawapost.com
suasana lingkungan dalam Lapas Sukamiskin. Sumber gambar ; jawapost.com
Kondisi psikologis pengelola Lapas korupsi merupakan titik lemah dan mendasar yang menjadikan idealisme kerja mereka hilang--bukan semata karena uang. Kolektifitas superior napi korupsi jauh lebih kuat dari kolektifitas "suprioritas" pengelola Lapas selaku aparat hukum. Yang terjadi justru muncul sikap inferioritas pengelola Lapas. Dalam struktur yang lebih tinggi pun (Kemenkumham) bukanlah lembaga superior dimata para napi koruptor. Hal ini disadari benar oleh para pengelola Lapas. "Bos kita aja teman-teman para "anak-anak binaan" bagaimana kita bisa tegas?"

Superioritas KPK VS "Superioritas" Napi Korupsi

Saat ini, lembaga Superior di negeri ini hanya KPK. Lembaga ini punya citra bagus dimata publik. KPK tidak punya sejarah dan romantisme "pertemanan" dengan para koruptor itu semasa mereka masih aktif. Sejak dilahirkan, superioritas KPK sudah jauh melebihi lembaga hukum lainnya di negeri ini, ditambah dalam kiprahnya yang cemerlang, sikap tegas dan tak pandang bulu menangkap pejabat tinggi negara dan pengusaha kelas kakap koruptif.

Sayangnya, citra suprioritas KPK menjadi "dimentahkan" ketika proses hukuman diserahkan kepada Kemenkumham (Lembaga Pemasyarakatan). Proses hukuman yang dimaksudkan untuk  memberi efek jera akhirnya jadi tawar karena Lembaga Pemasyarakatan bermental inferior terhadap warga binaannya. Kasihan KPK. Miris melihat  hukum. Kasihan rakyat Indonesia yang mengimpikan negara ini bersih dari koruptor.

Saat ini, secara hukum dan perundang-undangan, proses hukuman para narapidana dibawah kewenangan Kemenkumham. Undang-undang itu mengatur semuanya secara rinci dan mendapt legitimasi dengan sistem ketatanegaraan RI sebagai lembaga Yudikatif.

Sementara KPK merupakan "lembaga baru" yang secara hirarki tidak berada dalam Kemenkumham melainkan lembaga "milik" Presiden, DPR dan rakyat Indonesia.

Melihat kondisi inferioritas Lembaga Pemasyarakatan saat ini sebaiknya mereka tidak usah lagi mengelola Lapas khusus koruptor.

Kiranya saat ini perlu dipikirkan untuk memperluas kewenangan KPK--tak hanya pada penangkapan, penahanan dan penyidikan para koruptor, namun juga melakukan proses "pembinaan secara langsung" sebagai pengelola Lembaga Pemasyarakatan khusus Koruptor. Jangan sampai hasil kerja KPK yang sudah susah payah sejak awal penyelidikan hingga hukuman menjadi tidak berarti saat napi koruptor resmi menjadi penghun Lapas karena inferioritas dan ketidakmampuan lembaga lain yang menanganinya. 

Untuk memperluas wewenang KPK itu perlu perubahan Undang-undang dan segala aturan teknis terkait penyelenggaraan Lembaga Kemasyarakatan khusus koruptor. 

Satu hal penting, demi bangsa dan negara, kiranya Kemenkumham dan DPR (parpol) harus mau berlapang dada mengadakan perubahan ini. Jangan sampai justru jadi komoditas politik yang tak berkesudahan.

Bekal citra suprioritas KPK, integritas dan legitimasi yang kuat dimata publik dapat meminimalisir praktek "cari enaknya" oleh para kooruptor selama masa pembinaan di Lapas. Dengan suprioritas KPK, para napi koruptor sebagai "kumpulan orang hebat" tak tumbuh jadi kumpulan superior dalam menjalani hukuman.

--- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun