Bagaimana dengan sepak bola Kroasia?
Gelombang "renaissance sepak bola" Â juga melanda Kroasia sejak masih bernama Yugoslavia. Namun mereka belum bisa total karena sistem politik negara Yugoslavia yang anti kapitalisme. Bagi mentalitas inferior Blok Timur (komunis), sepak bola bukanlah industri melainkan alat propaganda negara kepada dunia.
Kroasia sendiri sudah lama memiliki kultur sepak bola, jauh lebih dahulu dari kemerdekaannya. Â Ini modal kuat Kroasia untuk menjadi "negara sepak bola" di era sekarang ini. Berprestasi tingkat dunia merupakan perjuangan fase kedua rakyat Kroasia untuk memperkuat pengakuan dunia setelah merdeka dari belenggu Yugoslavia.
Namun Kroasia hadir di pentas Eropa dan dunia bukan sebagai pusat industri sepak bola melainkan sebagai pemasok "budak industri sepak bola" yang bernilai tinggi karena memiliki skill, telenta dan daya juang hebat dalam bekerja di industri tersebut. Sejak penampilan perdana tahun 1998 yang mengesankan, hingga kini infrastruktur sepak bola Kroasia tidak berkembang sebagaimana hebatnya para "budak industri sepak bola" Kroasia bekerja di sejumlah klub terkemuka di Eropa Barat.
Mindset pemerintah dan publik Kroasia belum sepenuhnya menerima "renaissance sepak bola" seperti Eropa Barat, melainkan masih terkukung mentalitas "keras kepala" dan "irasional" ala Blok Timur yang masih bangga pada propaganda semata.Â
Lihat saja, Â prestasi klub asal Kroasia masih tergantung satu-dua klub, yang masih tak lepas nama besar Yugoslavia, seperti Dinamo Zagreb, Lokomotiv Zagreb, HNK Hazduk Split. Prestasi mereka di kompetisi liga elite Eropa belum mendunia seperti klub-klub Eropa Barat: Juventus, AC Millan, AS. Roma, Barcelona, Real Madrid, MU, Liverpool, Paris Saint Germain, Â AS Monaco, dan lain-lain.
Dibandingkan negara-negara barat seperti Inggris, Italia, dan Spanyol, publik dan lembaga sepakpola dari luar pun jarang mencari tahu "kesuksesan" sepakbola Kroasia.Â
Kroasia dianggap bukanlah rujukan yang tepat. Selain itu, tak banyak investor (kapitalis) kelas dunia menanamkan modalnya untuk "meramaikan pasar" sepakbola Kroasia.Â
Sementara di sisi lain pemerintahnya tidak agresif menjual diri  untuk membangun infrastruktur sepak bola mereka. Sikap alergi  "kapitalisme barat" di tanah sendiri dan rasa kepercayaan diri yang terlalu tinggi atas prestasi anak negeri menjadi dua sisi mata uang yang tak laku bagi "renaissance sepak bola" itu sendiri.
Pada piala dunia kali ini, "sifat keras kepala" dan "irasional" yang "anti mainstream Barat"  ditunjukkan pelatih timnas Kroasia Zlatko Dalic dalam taktik bermain. Saat melawan Rusia dan Nigeria dia pakai formasi 4-2-3-1. Saat melawan Islandia, Kroasia pakai formasi 4-3-2-1. Dan pakai formasi 4-1-4-1 saat melawan Argentina, Denmark, dan Inggris. Formasi itu unik (kalau tidak mau dikatakan aneh), padahal tim yang mereka hadapi adalah tim kelas dunia.
Bandingkan dengan formasi baku dan klasik Eropa Barat 4-4-2 atau 4-3-3 yang sudah jadi rujukan sepak bola dunia. Formasi itu mengutamakan peran lini tengah dan belakang demi kemenangan. Lini tengah adalah hidup-mati sepak bola di lapangan.Â
Sementara taktik pelatih Kroasia dengan  4-1-4-1 tentu saja diluar "buku teori" yang berlaku. Hebatnya, taktik itu membuat "pusing" para lawan: Argentina mereka tekuk 3 gol tanpa balas, Tim "Dinamit" Denmark tak mampu meledak, mereka tahan 1:1 (kemudian menang adu pinalti 3 ; 2), dan  Inggris (England) mereka bikin sulit bernafas dan mati angin di lapangan hingga kalah 1 : 2. Â