Facebook selalu memulai  perjumpaan dengan kalimat tanya : "Apa yang Anda pikirkan?". Dari situ awal kemanusiaan seseorang bisa terlihat karena pertanyaan itu berkaitan langsung dengan pikiran yang merupakan sebuah penanda  atau hal mendasar sebagai manusia. Sementara kemanusiaan terkait pemikiran yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia dan menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal. Di dalam pikiran ada gagasan yang mengarah pada upaya pemahaman pada diri sendiri, terhadap  manusia lain dan lingkungannya.
Ketika seorang pemilik akun facebook dihadapkan pada pertanyaan "Apa yang Anda pikirkan?" maka dia seolah diberi napas panjang dan sayap lebar sehingga punya daya jelajah yang kuat  untuk terbang tinggi dan jauh untuk melihat, merasakan dan melakukan tindakan tertentu sebagai jawaban pertanyaan tadi. Sementara Mark Zuckerberg mungkin hanya sebagai 'provokator'  yang asyik mengumpulkan pundi-pundi harta dari facebook tanpa perduli kemana pemilik akun itu menjelajah, dan seberapa pandai  memanfaatkan sayap di arus kuat angin cakrawala dunia maya.
Media Sosial  dan Manusia Tak Tahu Diuntung
Hidup selalu berubah. Nasib bisa diubah, tapi ketika perubahan karena sengaja menjungkalkan logika sehat di status (tulisan dan gambar) facebook yang meredupkan nilai diri, maka perubahan hidup seseorang jadi tampak sungguh aneh dan tragis.
Seorang yang memiliki memiliki akun media sosial (facebook), punya latar belakang pendidikan tinggi dari universitas ternama, punya jabatan prestisius di lingkungan sosial, punya pengalaman kerja hebat --yang kiranya semua itu membentuk pergaulan dan cara berpikir luas, maka terbayang lah image hebat pada orang tersebut. Tapi apa lacur ketika dia ditanya Mark Zuckerberg  "Apa yang anda pikirkan?"  justru  yang muncul adalah jawaban berupa postingan gambar dan tulisan ujaran kebencian, fitnah, penghinaan pada orang lain yang dia sajikan di ruang publik. Â
Jawaban atas pertanyaan tadi tak lebih sebuah kesesatan pemikiran yang menghancurkan image hebat yang sudah tersemat.  Postingan tulisan status atau gambar meme tersebut merupakan  sebuah pemikiran jahat yang dituangkan dengan kesadaran penuh. Ini bukan penyakit latah yang muncul spontan ketika mendapat stimulan dadakan. Ini bukan sebuah canda antar teman lama yang sudah saling tahu 'urat geli' masing-masing sehingga dengan gampangnya menyapa  "Jancuk, piye kabare dap?".
Ketika ada pertanyaan 'Apa yang anda pikirkan?'maka disitu memuat tuntutan 'jawaban' berupa "suatu obyek" yang tengah dipikirkan. Obyek itu hasil endapan ragam variabel pikiran. Disitu (sebenarnya) "ada jeda waktu untuk berpikir". Dengan waktu, ada kesempatan memfilter pikiran. Disitu juga ada "jarak antara perangkat gawai dan syaraf gerak" bagi penuangan pikiran. Ketiga hal tersebut bergabung sejatinya menjadi satu senyawa di depan layar media sosial.
Dengan gawai atau perangkat lainnya, orang diberi kemudahan untuk mewujudkan buah pikirannya. Disisi lain, momen di depan perangkat masih menyediakan ruang gerak yang cukup untuk menentukan pilihan diri berpikir baik atau berpikir buruk. Â Ruang gerak itu sangat luas dan nyaman untuk memanjakan diri mencapai suatu bentuk kepuasan. Persenyawaan obyek-waktu-perangkat-syaraf gerak juga memberi kesempatan untuk berpikir berulangkali sebelum pikiran itu dituangkan dalam bentuk tulisan atau gambar meme dan kemudian diposting ke ruang publik.
Saat pikiran buruk jadi pilihan untuk dituangkan maka hal itu jadi cermin nilai diri pemikir yang culas. Pilihan itu meniadakan beban tanggungjawab pada tingkat pendidikan, pekerjaan, ruang relasi, pengalaman hidup dan lain-lainnnya. Dan yang paling miris ketika relasi pekerjaan dan kehidupannya ternyata terkait langsung dengan obyek hinaan. Bayangkan, beberapa waktu lalu sejumlah orang yang bekerja di lembaga pemerintah, berpendidikan tinggi dan punya jabatan penting, tapi kemudian melakukan penghinaan terhadap presiden di ruang publik. Tak lama kemudian ada anak "bau kencur" usia sekolah menengah melakukan hal serupa. Apakah kedua generasi berbeda itu memiliki tingkat pemikiran yang sama saat di depan media sosial?
Ketika tulisan singkat  status media sosial itu diluncurkan penuh kebencian--tulisan singkat tendensius tanpa data valid dan argumentasi logis--maka nilai diri itu tak lagi semata milik si Pemikir (pemilik akun), tapi telah jadi milik publik dalam bentuk penilaian negatif yang disematkan ke si Pemikir. Penilaian itu menjadi  hukuman sosial yang sangat kejam yang mampu membongkar masa lalu, menghancurkan masa kini dan masa depan si Pemikir tersebut.