Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tren Pelaku Terorisme, Keluarga Inti, dan PR Guru Sekolah

14 Mei 2018   20:19 Diperbarui: 15 Mei 2018   08:17 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentetan peristiwa bom di Surabaya telah jadi isu besar di tanah air dan seluruh dunia. Masyarakat umumnya sepakat menolak terorisme. Aksi terorisme merupakan tindakan terkutuk yang tidak bisa ditolerir dengan alasan apapun. 

Terorisme umumnya terkait organisasi tertentu yang memperjuangkan suatu ideologi. Anggotanya adalah orang-orang dewasa yang secara sadar bergabung dalam organisasi tersebut.

Mereka juga telah mengerti segala hal terkait perjuangan organisasinya, mulai dari visi, misi, tujuan, struktur organisasi, strategi, target dan lain sebagainya. Ketika akan melakukan aksi teror, maka para orang dewasa itulah yang terjun langsung. 

Namun di Surabaya sungguh mencengangkan! Pelaku aksi teror itu satu keluarga inti: terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak di bawah umur. Ini di luar kebiasaan aksi terorisme pada umumnya. Sampai saat ini, mungkin hanya di Indonesia pelaku aksi terornya dilakukan satu keluarga inti.

Mereka adalah anak-anak usia sekolah dan usia bermain,  yang dijadikan aktor perjuangan ideologi teroris. Mereka dilibatkan oleh orang dewasa terdekat, dalam hal ini justru ayah dan ibunya. Hal tersebut sungguh sulit dicerna akal sehat kita! Orang tua macam apa mereka?

Jauh sebelum anak-anak tersebut jadi aktor dan eksekutor bom bunuh diri, sebenarnya mereka sudah berstatus korban orang dewasa yang terdokrin ideologi teroris. Mirisnya, orang dewasa itu adalah orang tua mereka sendiri.

sumber gambar : statik.tempo.co
sumber gambar : statik.tempo.co
Anak-anak usia bermain dan sekolah dirampas ruang kanak-kanaknya untuk masuk ke ruang domain para dewasa. Di sana, mereka dipaksa memikul tanggung jawab misi organisasi terorisme tanpa mereka paham sepenuhnya perjuangan organisasi.

Ketika aksi terorisme umum terjadi, maka yang  kecolongan adalah institusi keamanan; Kepolisian dan TNI, institusi lingkungan  sosial tempat tinggal, institusi keagamaan dan lain-lain. 

Namun ketika aksi teroris itu secara langsung melibatkan anak-anak, maka yang turut kecolongan adalah institusi pendidikan, dalam hal ini sekolah.

Institusi terdekat yang menjaga anak-anak adalah keluarga dan sekolah. Ketika keluarga inti tidak mampu melindungi anak-anak, maka sekolah jadi lapis kedua yang terdekat.

Banyak hal dalam diri anak-anak sejatinya diketahui pihak sekolah karena hari-hari mereka sebagian dihabiskan di sekolah. Selain itu, data diri siswa, mulai dari riwayat pendidikan, riwayat sakit, data keluarga inti, alamat rumah (lingkukan tempat tinggal), bahkan mungkin tetangganya pun bisa diketahui.

Dari sini, para guru sekolah bisa mengamati perkembangan siswanya, selain perilaku mereka di sekolah. Terlebih bila kondisi atau setting orang tua yang "tidak sama" dengan para orang tua lainya.

Misalnya, si orang tua siswa pernah ke Suriah, aktif organisasi tertentu yang berafiliasi pada ideologi tertentu, aktif di Ormas, dan lain-lain.

Para guru (wali kelas, atau BP) bisa memulai komunikasi secara khusus kepada siswa yang kiranya berpotensi mengalami pengaruh aktivitas orang tuanya. 

Dalam hal ini, guru kelas, wali kelas, dan  teman-teman sekolah merupakan ujung tombak informasi bagi kepengasuhan anak (siswa). Mungkin sekolah tak sepenuhnya bisa menolak otoritas dan dominansi pengaruh orang tua si siswa, namun setidaknya bila ada hal yang "aneh" pada anak (siswa), maka pihak sekolah (guru) bisa mendeteksinya untuk kemudian berkoordinasi dengan pihak kepolisian atau BNPT untuk meneliti lebih lanjut, terutama aktivitas keluarga inti siswa tersebut.

Berdasarkan pengalaman aksi terorisme di Surabaya, dan tanpa perlu menyalahkan institusi pendidikan, kiranya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan--bekerja sama dengan lembaga lain seperti Kepolisian, TNI, BNPT--perlu memberi  pembekalan khusus kepada para guru untuk mampu mendeteksi adanya pengaruh terorisme pada anak-anak (siswa) dan keluarganya. 

Materi pembekalan tentunya disesuaikan dengan lingkup pendidikan. Konsepnya disesuaikan level pendidikan (usia siswa) yang dipadukan dengan konsep kerja kepolisian terkait pendeteksian awal paham-paham terorisme dan perilaku yang umumnya terjadi pada seseorang yang sudah terkena paham tersebut. 

Diharapkan, tren aksi terorisme oleh keluarga inti bisa dideteksi sejak awal lewat pengamatan terhadap para anak didik (siswa) di sekolah. Semoga kedepannya tidak ada lagi aksi teror, terlebih yang melibatkan anak-anak.

---- 

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun