Kalau Anda jalan-jalan ke Kalimantan Barat, Anda akan banyak menemukan rumah-rumah burung walet di berbagai tempat, misalnya di tengah sawah, dekat hutan, atau tanah kosong, semak, ruko kosong, bahkan di tengah permukiman, dan lain-lain. Rumah walet ini merupakan sebuah rumah berlantai tiga yang khususnya dibangun pemiliknya untuk memelihara burung walet.
Saya pernah menggunakan jasa singkat seorang tukang kayu untuk pekerjaan bangunan kecil yang butuh finishing rapi, atas rekomendasi kawan karena pekerjaannya rapi dan paham dengan sifat kayu. Upahnya hampir dua kali lipat level kepala tukang kayu lainnya. Ternyata dia sebenarnya pekerja khusus "interior" rumah walet.
Dari dia saya tahu, bahwa membuat bagian dalam rumah walet itu tidak sembarangan, butuh keahlian dalam hal presisi, kehalusan permukaan, pengetahuan umur kayu, tingkat kering, jenis serat kayu, membaui kayu, sampah kayu, teknik mengerjakan, dan lain sebagainya. Dia sudah belasan tahun dikontrak dari satu pemilik rumah walet ke pemilik lainya untuk membangun atau pemeliharaan rumah walet. Dan upahnya sangat memang tinggi. Saya pikir keahlian si tukang itu merupakan salah satu turunan dari berbagai turunan bisnis walet.
Selain walet, bisnis budidaya ikan arwana juga marak. Butuh tempat dan peralatan khusus yang (ternyata) perlu banyak modal. Turunan bisnis ini bisa menyerap tenaga kerja yang khusus karena mengurus ikan arwana kelas unggul "sangat cerewet" dan dibutuhkan keahlian si pekerja (bisa didapatkan dari pengalaman dan pelatihan). Turunan lainnya adalah banyak muncul "rumah budidaya" serangga dan kecoa di tengah masyarakat sebagai pemasok makanan untuk bisnis ikan arwana.
Bagaimana kalajengking?
Belajar dari kecoa, walet dan arwana, niscaya kelak muncul banyak pebisnis kalajengking. Bila (sepintas) dilihat, budidaya kalajengking ini relatif simpel dan bisa dilakukan bersifat "rumahan" karena tidak butuh gedung besar dan treatment yang "cerewet" seperti rumah walet dan arwana.
Dengan budidaya kelas rumah produksi sementara nilai jual nya tinggi, tentu bisa jadi pemidu masyarakat umum untuk memulai bisnis ini. Bayangkan saja, 1 gram racun kalajengking harga jualnya Rp 111,7 juta (dengan kurs 1 dolar AS Rp 13965 rupiah). Atau harga liter racun kalajengking 145 miliar. Untuk satu ekor kalajengking bisa didapatkan 5-50 mikroliter racun. Untuk 1 liter racun butuh 20 ribu kalajengking. Anggaplah satu produksi rumahan hanya mampu seperseribu dari jumlah itu, duit yang didapat tetap tidak sedikit. Siapa yang tidak tergiur?
Secara umum, hal pertama dan utama yang diperlukan adalah informasi segala hal kalajengking terkait kebutuhan pasar dan dunia medis. Baik itu informasi jenis kalajengking, cara hidup dan perkembangbiakannya, cara pembudidayaan, cara produksi racun, sistem pasar, tata niaga, dan lain sebagainya. Kalau informasi ini bisa segera dibuat dan disosialisasikan pemerintah, badan riset atau lembaga yang berkompeten lainnya, bukan tidak mungkin kalajengking akan jadi bisnis baru yang menjanjikan bagi masyarakat. Semoga.
-----Â
Referensi berita : satu, dua, tiga, empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H