Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Rekonsiliasi Kubu Prabowo dengan Jokowi Sebelum Pilpres 2019, Sebuah Utopia?

16 April 2018   12:04 Diperbarui: 7 Mei 2018   07:09 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini selagi waktu masih relatif cukup, perlu dipikirkan adanya rekonsiliasi nasional kaum elit politik negeri ini. Selama ini, bila mendekati hari H Pemilu seringkali ada 'deklarasi pilpres damai', namun berhubung waktunya yang singkat, hal tersebut tidak terlalu efektif  merekatkan akar rumput. Agenda deklarasi pemilu damai seolah hanya agenda basa-basi semata. Dalam kenyataannya, masa kampanye terjadi manuver-manuver politik penumbuh perpecahan rakyat.

Konsep deklarasi damai hendaknya dikembangkan lebih lanjut  dan dilakukan dalam rentang waktu lama agar terbangun suasana damai secara nyata di tingkat akar rumput. Selama waktu tersebut, para elit politik secara verbal dan simbolis harus mampu membangun keakraban, komunikasi, interaksi, dan perilaku positif satu dengan lainnya sehingga menjadi contoh bagi kaum akar rumput (rakyat). Karena para elit politik  tersebut patron dan tauladan pendukungnya, dan  dari mereka itulah bisa terjadi sebuah gerakan dan suasana positif atau negatif di dalam kehidupan rakyat. Adapun sejumlah pihak yang bisa mendukung secara aktif hal tersebut adalah para intelektual, para tetua/bapak bangsa, budayawan, dan pers.

Para intelektual (pengamat) diharapkan tak melulu bicara prediksi/perhitungan menang-kalah, melainkan melahirkan suatu pemikiran/konsep kebersamaan dalam persaingan sehat bagi kedua kubu peserta Pilpres2019.  Bagaimanapun, peran para pengamat akan didengar rakyat yang setiap hari tak lepas dari media. Di sisi lain, peran pers penting untuk menyampaikannya secara kontinyu.

Bila melihat fenomena perseteruan kaum elit politik selama ini yang 'sulit' menyatu, ide rekonsiliasi nasional bagai sebuah utopia atau kemustahilan. Namun agar kita tak bersikap pesimis dan sinis, maka ada satu hal yang perlu dikedepankan bahwa kultur dasar masyarakat Indonesia adalah kekeluargaan dan musyawarah-mufakat. Orang yang sedang marah sekalipun, kalau secara perlahan dan secara terus menerus  diajak bicara akhirnya mau diajak dialog. Prinsip dasar ini kiranya berlaku di entitas politik yang selama ini mengutamakan komunikasi---walau yang terjadi mereka lebih banyak melakukan monolog menjatuhkan kubu lain demi kepentingan kubunya sendiri yang kemudian digoreng oleh pers demi kepentingan pemberitaan.  

Dalam konteks rekonsiliasi kedua kubu tersebut  harus ada 'kepala tali' yang menjadi pihak penghubung  antar kubu agar tak terjebak monolog. Dari upaya kepala tali tersebut kemudian tercipta ruang komunikasi verbal dan interaksi fisik kedua kubu. Kepala tali itu bisa diemban para budayawan atau para tetua bangsa yang memiliki integritas dan disegani masing-masing kubu. Tentu semua upaya tersebut bukan hal yang mudah, tapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin. Dulu Indonesia dijajah 350 tahun, dan kalau dipikir sepertinya kita tidak mungkin bisa merdeka, bukan? Wilayah nusantara memuat banyak pulau, terdiri dari banyak teritori/kekuasaan kerajaan/kesultanan dan beragam beragam suku bangsa. Kalau dipikir, tak mungkin akan jadi satu negara bernama Indonesia. Tapi toh jadi juga.

-----

peb16/04/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun