Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Mengapa Tidak Ada Pencantuman IQ Calon Presiden?

19 Maret 2018   06:04 Diperbarui: 19 Maret 2018   11:08 3897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikabarkan oleh Habiburohman Ketua Bidang Advokasi Partai Gerindra bahwa Prabowo Subianto memiliki IQ 152, sehingga dianggap cocok jadi presiden, (sumber). Secara politik, sah-sah saja Habiburohman mengatakan demikian sebagai "promosi jagoannya" kepada publik. Dalam politik, segala keunggulan harus dikabarkan demi meraih simpati publik secara luas.

Parameter kecerdasan seorang manusia merujuk pada nilai atau tingkat IQ (Intellegent Quotient). Untuk mendapatkan atau mengetahuinya harus melalui serangkaian metode tes psikologi terhadap orang tersebut yang dilakukan oleh ahli dan lembaga psikologi yang kredibel. Score  hasil suatu hitungan kecerdasan kemudian digolongkan menurut tingkatan kecerdasan. Ini semacam "kasta kecerdasan". 

Tingkatan score IQ terbagi dalam 6 kasta kecerdasan; 

Pertama, score 70 sampai 79 = digolongkan tingkat IQ rendah atau keterbelakangan mental. 

Kedua, score 80 sampai 90 = Digolongkan tingkat IQ rendah yang masih dalam kategori normal (Dull Normal).

Ketiga, score 91-110 = Digolongkan tingkat IQ normal atau rata-rata. Ke

Keempat, score 111 - 120 = Tingkat IQ tinggi dalam kategori normal (Bright Normal).

Kelima, score 120 - 130 = digolongkan tingkat IQ superior

Keenam, score 131 atau lebih = Digolongkan tingkat IQ sangat superior atau jenius.

Penggolongan ini menjadi petanda "nilai hebat" atau tidaknya seseorang di mata publik--seandainya score IQ itu menjadi konsumsi publik. 

Bila dikaitkan dengan suksesi dalam demokrasi Indonesia, apakah perlu menyebutkan score IQ seorang kandidat kepala daerah, atau presiden?

Di Indonesia, seorang bakal calon kepala daerah atau calon presiden yang oleh KPU dinyatakan sudah resmi jadi Calon Kepala Daerah (Cakada) atau Calon Presiden (Capres) pada tahap selanjutnya harus mengikuti serangkaian tes kesehatan jasmani dan rohani. Rangkaian tes itu resmi dilakukan lembaga kredibel yang ditunjuk KPU berdasarkan aturan dan undang-undang. Hasil tes itu menjadi salah satu penentu bisa atau tidak para kandidat tersebut mengikuti Pilkada atau Pilpres.

Sensitivitas Nilai Kuantitatif pada Capres

Selama ini, hasil tes kesehatan rohani (kejiwaan) tidak pernah mencantumkan secara spesifik tentang tingkat kecerdasan calon. Tidak ada press release tentang score IQ para Kandidat. Publik hanya diinformasikan bahwa calon lolos kesehatan rohani dan jasmani.

Pertanyaannya, mengapa KPU tidak dicantumkan hasil tes berupa score IQ--agar rakyat tahu tingkat kecerdasan calon pemimpinnya? Apakah IQ seseorang bersifat rahasia? 

Rahasia atau tidaknya hasil tes IQ, dan item-item tes lainnya tergantung pada ruang kebutuhan dan relevansi atau pengaruhnya terhadap kondusivitas ruang publik.

Dalam dunia politik, nilai-nilai kuantitatif yang didapatkan dari hasil tes para kandidat menjadi sesuatu yang sensitif di ruang publik. Sensitivitas tersebut rawan memunculkan polemik dan kampanye hitam oleh para pendukung si Kandidat terhadap lawan politiknya. Bukan hanya nilai kuantitatif IQ saja, bahkan hal sepele seperti ukuran berat badan dan tinggi badan kandidat pun tidak diberitakan. 

Bayangkan saja bila ada pencantuman IQ setiap kandidat, akan terpetakan kasta kecerdasannya seluruh calon. Dan hal ini akan jadi bulan-bulanan dalam berbagai bentuk selama kampanye. Ujung-ujungnya timbul suasan demokrasi yang tidak sehat. Dari tes kesehatan kandidat menjadikan tubuh demokrasi yang tidak sehat. 

Pihak KPU selaku penyelenggara pesta demokrasi tentu punya ambang batas bawah score kecerdasan untuk menyatakan lulus atau tidaknya, atau layak/tidaknya seorang kandidat mengikuti kontestasi Pilpres atau pun Pilkada.

Dalam bangunan kepemimpinan seseorang, faktor score IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilannya jadi pemimpin wilayah dan politik. Ada banyak varian faktor yang jadi penentu kepemimpinan dan keberhasilan menjadi pemimpin. Score IQ sangat tinggi tidak otomatis lebih hebat jadi pemimpin dibandingkan IQ yang lebih yang lebih rendah---sepanjang sudah memenuhi batas bawah yang diisyaratkan KPU. 

Secara kelembagaan, nilai kuantitatif personal seorang kandidat Pilpres atau Pilkada merupakan domain rahasia KPU, bahkan jadi rahasia negara sampai kapan pun.

Kalau kemudian ada klaim nilai kuantitatif pribadi seorang kandidat diumbar ke ruang publik oleh para pendukung si Capres atau Cakada, maka itu hak pendukung yang didapatkannya bukan dari KPU. Mereka bertanggung jawab penuh atas pernyataan tersebut. Hal sebaliknya juga berlaku bila seorang Capres atau Cakada tidak mempublish nilai kuantitatif pribadinya.

 ---- 

Peb19/03/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun