Latar belakang JK dari Golkar selaku partai besar, tua dan berpengalaman di pemerintahan dan politik menjadikan Jk  sangat percaya diri tampil diberbagai peristiwa penting. Gaya politik JK yang serba ingin cepat, ceplas-ceplos, familiar, dan egaliter dibandingkan  Presiden SBY yang dianggap publik  bergaya aristokratis-feodalistik, peragu dan tidak tegas. SBY yang berlatar belakang militer terbiasa dengan garis komando. Anak buah tak boleh lebih menonjol dari komandan.  Perbaningan gaya SBY-JK itu jadi persoalan tersendiri dalam persepsi politik publik. Â
Gaya  JK itu bikin nama SBY kalah pamor. SBY "kegerahan", apalagi kompor pers dan elemen politik disekelilingnya terus menyala melihat sepak terjang JK.  Celakanya, JK tak merubah sikap, walau dia mengetahui kondisi itu.  Konon hal itulah yang  menjadikan SBY tak lagi merasa cocok bersama JK untuk periode ke 2 pemilihan presiden.Â
![sumber gambar :https://nasional.kompas.com/read/2014/05/08/2334565/Jusuf.Kalla.dan.SBY.Beda.Pendapat.soal.Blanket.Guarantee.Century.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/05/1438179sby-jk780x390-5a9d0603cf01b446a549c5b2.jpg?t=o&v=555)
Kekuatiran publik pun ternyata tidak keliru. Awal pemerintahan Jokowi berjalan persoalan lebih rumit. Sejumlah koalisi partai kalah Pilpres2014 berebut kursi pimpinan dan pengaruh  di parlemen yang mempengaruhi jalannya pemerintahan Jokowi/JK. Sementara itu, dalam memilih menteri diduga JK menempatkan orang-orangnya untuk pentingan tertentu terkait bisnisnya. Persepsi publik muncul; Jokowi tampak lemah dibandingkan JK. Beruntunglah semua itu sudah berlalu setelah Jokowi melakukan resufle kabinet dan  orang-orang JK tersingkir. Kini mereka seolah mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
Hal paling dramatik dan tak bisa dilupakan publik adalah pada pemilihan gubernur DKI2017 lalu. Drama itu menjadikan catatan politik JK menjadi "tidak bersih" di mata sebagian publik. Sebagai pendamping siapapun JK tidak loyal, tidak setia dan selalu punya agenda sendiri yang bikin gerah pasangan politiknya.Â
Hal yang pertama adalah JK condong memilih Anies Baswedan yang diberhentikan Jokowi pada ressufle kabinet sebelumnya. Sementara persepsi publik bahwa Jokowi berpihak pada Ahok yang pernah jadi wakilnya saat jadi gubernur DKI. Dalam hal "pilihan", JK berbeda dengan Jokowi.Â
Hal kedua adalah Jk bersikap diam atau pura-pura tidak tahu terkait politisasi agama dan tempat ibadah untuk meraih jabatan DKI 1. Padahal JK saat itu menjabat ketua dewan masjid. Tidak ada aksi heroik demi kepentingan kebangsaan yang dilakukan JK layaknya yang pernah dia lakukan saat mendamaikan konflik di Ambon, Poso dan Aceh dahulu.  JK dianggap turut berperan  menjadikan  Anies mendapatkan  kursi gubernur DKI dengan cara politisasi SARA : agama dan ras.Â
Dalam dunia politik, berbeda pilihan dengan  pasangan jabatan itu hal yang biasa. Namun itu "aneh" di mata publik awam. Kekompakannya dipertanyakan. Apalagi strategi "pembiaran" JK pada politisasi agama/tempat ibadah dan ras itu berdampak pada kelanjutan kehidupan berbangsa yang saat ini pada titik menghawatirkan usai pilpres 2014 dan Pilgub DKI2017. Secara tidak langsung, JK punya andil disini.
Sepak terjang JK pada pilgub DKI ini sangat menentukan persepsi politik publik tentang dirinya dikaitkan dengan 'tabiat politiknya" dalam dua kali jadi wakil presiden, baik saat jadi mendampingi  SBY maupun Jokowi. Cap tidak loyal, suka main sendiri, suka menusuk kawan dari belakang, dan lain sebagainya bisa menjadi persepsi politik publik yang menjadikan catatan kurang baik bagi karier politik JK. Dalam politik, yang diingat publik adalah cacatnya bukan prestasi segudang yang pernah dibuat. Ini masalah rasa dan citra awam.
![sumber gambar : https://nasional.kompas.com/read/2014/08/07/18351971/Tim.Transisi.Jokowi-JK.Ajak.Pegiat.Medsos.Bantu.Pemerintahan.Jokowi-JK](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/03/05/105441220140722kp-51780x390-jpg-5a9d07165e137351a767ada2.jpg?t=o&v=555)
Dalam menutup kariernya sebagai capres dan politikus kawakan, tentunya  JK ingin dikenang baik dan harum. Dengan begitu, dia bisa menikmati pensiun dengan tenang. Satu cara yang bisa ditempuh JK adalah menentukan arah dukungan politiknya pada Pipres 2019 nanti.