Dalam hitungan jam kedepan kita akan masuk tahun baru 2018 dan meninggalkan tahun lama 2017. Dibanyak kota, untuk menyambut Tahun Baru itu beberapa tempat seperti  tempat hiburan, parkiran mall, ruang publik seperti taman-lapangan-stadion, tepi jalan dan lain-lain nampak ada kesibukan diluar dari biasanya. Ada kegiatan orang-orang membuat panggung, pasang lampu, sound system 'segede gajah', baliho, bendera dan pernak pernik lainya.Â
Hal yang sama sejak dulu juga dilakukan  sehingga seperti ritual wajib akhir tahun. Ini merupakan sebuah perulangan dari tahun ke tahun yang membentuk "tradisi". Tahun 2017 juga pernah menyandang predikat Tahun Baru ketika tahun 2016 ramai-ramai ditinggalkan untuk kemudian memasuki awal 2017. Namun beberapa jam lagi tahun 2017 akan menjadi tahun usang. Nasibnya seperti 2016 tadi. Sama halnya 2018 yang saat ini dinanti-nanti penuh harapan kelak juga akan mengalami nasib seperti tahun 2017. Begitulah seterusnya.Â
Apa yang baru di pergantian tahun?
Perayaan Tahun Baru merupakan "sebuah batas" babak lama ke babak baru kehidupan. Banyak orang menaruh harapan di babak baru tersebut ; "tahun yang baru lebih baik dibanding tahun sebelumnya".
Perayaan tahun baru itu membawa manusianya ke dalam situasi 'liminalitas' yakni ibarat berada di "Batas Pintu" --- di mana dia sedang meninggalkan tempat/waktu  lama namun belum sepenuhnya memasuki tempat/waktu yang baru. Pada perayaan itu ada suatu ruang batin yang mendasari mereka untuk melakukan rekonstruksi hidupnya, kepentingannya, dan masa depannya. Namun uniknya, ruang/waktu rekonstruksi itu diwujudkan dalam pesta hingar bingar "gedebam-gedebum!"musik, kembang api, klakson, mercon, meriam karbit, dan lain-lain. Sebagian warga kota, kampung atau wilayah membentuk kumpulan/kelompok keramaian untuk melakukan ritual "gedabam-gedebum" bersama. Mereka larut dalam sebuah "liminalitas komunal".Â
Semua kembali kepada diri pribadi manusia itu saat berada dalam "Batas Pintu" (liminalitas) tahun lama-tahun baru.Â
Pada saat menyambut tahun baru itu 'liminalitas' memberi "ruang beda" bagi mereka untuk "merekonstruksi" diri. Ruang beda 'liminalitas' merupakan ruang antara yang tidak sama dengan ruang lama yang ditinggalkan dan tak sama pula dengan ruang baru yang akan dimasuki. Pendek kata ; "mereka berada di ruang lain". Ruang lain ini merupakan entitas tersendiri yang (seolah) tak terkait langsung terhadap masa lalu dan masa depan.Â
Namun "gedebam-gedebum" sebagai tradisi dari tahun ke tahun berikutnya menjadikan ruang tersebut menjadi "tak beda"--tidak ada momen rekonstruksi sebagai isyarat. Uniknya harapan pada masa depan tetap menjadi tema utama. Apakah ini wujud rekonstruksi lain lewat alam bawah sadar? Entahlah.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin otak berpikir dan seluruh elemen  tubuh bekerja merekonstruksi masa depan ditengah hingar-bingar "gedebam-gedebum"? Bandingkan dengan cara hening-kontemplasi yang memungkinkan seluruh elemen tubuh bekerja merekonstruksi diri bagi masa depan yang sedang dijelang.
Kita tak perlu terlalu risau. Akhir tahun  memberi setiap orang pilihan cara merekonstruksi dirinya. Sesuaikan saja dengan bahasa tubuh, setting diri, atau apapun namanya sehingga momentum pergantian tahun lama ke tahun baru benar-benar menjadi ruang beda bagi anda untuk merekonstruksi diri.  Soal "tradisi gedebam-gedebum" hanya masalah pilihan--yang walau diragukan kemampuannya namun hingga saat ini menjadi pilihan sebagian orang. Bukan begitu, kawans? Heu heu heu...