Liga sepak bola bergengsi di negeri ini bakal kedatangan tiga "anak hilang" pada musim kempetisi mendatang. Ketiganya adalah PSIS Semarang, Persebaya Surabaya dan PSMS Medan. Siapa yang tak kenal reputasi ketiga "tim tradisional" itu? Mereka adalah tim juara kompetisi sepak bola Indonesia "Zaman Old" yakni pada masa kompetisi Perserikatan yang pertama kali digelar sejak tahun 1931- sebelum Indonesia merdeka.
Liga 2 baru saja selesai mengadakan Kompetisi pada partai empat besar di stadion Bandung Lautan Api, Bandung, sore-malam 28/11/2017 (live TV One). Pada laga itu ada dua pertandingan penting. Pertandingan pertama sore hari PSIS lawan Martapura FC memperebutkan tempat ketiga, yang berarti posisi itu merupakan tiket terakhir menuju Liga 1 Indonesia musim depan. Sebagai catatan, untuk kompetisi periode mendatang tersedia 3 tiket klub promosi dari Liga 2 ke Liga 1- yang merupakan liga tertinggi dan paling bergengsi.
Juara tiga akhirnya direbut PSIS setelah mengalahkan Martapura FC dengan skor 6:4 lewat pertarungan dramatis. Sejak awal hingga babak kedua berakhir PSIS selalu ketinggalan gol.
Mulai ketinggalan 1:0 kemudian disamakan jadi 1:1, ketinggalan lagi 1:2 kemudian dikejar lagi jadi 2:2, ketinggalan 2:3 dikejar lagi jadi 3:3, dan ketinggalan lagi 3:4 kemudian dikejar lagi jadi 4:4 sampai lah pluit tanda babak kedua berakhir skor seri 4:4. Dalam perpanjangan waktu 2x15 menit baru lah PSIS bisa memimpin dengan skor 6 : 4 hingga akhir pertandingan. Pada babak tambahan waktu 2x15 menit ini PSIS menunjukkan mental juaranya sehingga mampu mengalahkan Martapura FC--klub pendatang baru yang tampil cemerlang.
Pada laga kedua malam hari Persebaya Surabaya menjadi juara setelah mengalahkan 3:2 atas PSMS Medan yang harus puas di peringkat ke dua. Laga klasik Persebaya vs PSMS Medan terjadi sangat seru dan dramatis--mirip perjuangan PSIS lawan Martapura FC. Hanya bedanya, PSMS dan Persebaya sudah pasti lolos ke Liga 1, jadi pertarungan memperebutkan posisi juara 1 itu lebih dikarenakan gengsi klasik kedua tim.Â
Tiga Klub Tradisional
Ketiga klub bola itu disebut juga tim tradisional karena memiliki sejarah sepak bola yang panjang di daerah masing-masing dan kiprahnya dalam sepak bola tanah air. Dari ketiga tim kuat itu pernah lahir sejumlah pesepak bola handal negeri ini pada masa lalu. Selain itu dengan label daerah, mereka memiliki pendukung yang fanatik berdasarkan " fanatisme kedaerahan".
Sebagai klub tradisional, klub sepak bola PSMS Medan, Persebaya Surabaya dan PSIS Semarang bagai tak pernah mati. Pendukungnya pun turun temurun dari daerah masing-masing dan yang merantau ke daerah lain. Inilah kekuatan mereka sehingga walau pernah degradasi namun bisa tetap hidup sampai sekarang. Berbeda dengan klub non-perserikatan yang bisa saja gulung tikar dan tak pernah lagi muncul di kancah sepak bola nasional.
Puncak keemaasan kompetisi Perserikatan terjadi era tahun 80-an. Sampai pada masa itu kompetisi sepak bola nasional masih dibagi dua, yakni Galatama dan Perserikatan. Galatama terdiri dari klub-klub profesional, sehingga digolongkan kompetisi antar klub profesional dengan dukungan dana perusahaan swasta besar dan dikelola orang-orang profesional masa itu.
Sementara kompetisi perserikatan merupakan pertarungan klub antara daerah. Kompetisi ini dulu digolongkan amatir karena para pemainnya tak sepenuhnya mengantungkan hidup dari bermain bola, banyak yang merupakan pegawai daerah PNS, BUMD atau BUMN yang berkantor di daerah tersebut. Selain itu kepengelolaanya diurus pemerintah daerah dengan dukungan sebagian dana APBD daerah bersangkutan. Artinya sebagian pajak warga daerah itu digunakan untuk membiayai klub kebanggaan daerahnya.Â