Pada masa 80-an dan sebelumnya, seseorang akan menunjukkan foto dirinya yang terbagus atau terindah ke orang lain (publik). Pakaian dan dandanan dipersiapkan sebelum berfoto. Bingkai foto diberi hiasan motif tertentu. Gaya foto diatur sedemikian rupa. Hampir tidak mungkin seseorang secara sengaja memajang fotonya sedang sakit, karena itu dianggap mempermalukan diri sendiri.
Pada masa itu tidak semua orang berani berfoto kalau tidak terpaksa atau tidak ada keperluan mendesak, misalnya untuk kelengkapan admisnistrasi pekerjaan, sekolah, perkawinan dan lain sebagainya. Diluar hal itu, tidak ada niat membuat foto diri secara spontan. Kalau pun ada event bersama, seseorang masih lihat-lihat situasi. Tidak serta merta mau berfoto dalam kumpulan dengan berbagai pertimbangan, misalnya kesadaran akan status sosial, hierarki dalam komunitas dan masyarakat. Bila bisa menghindar, maka dia akan menghindar.
Era masa lalu itu teknologi dipegang sepenuhnya oleh studio dan fotografer yang dibayar. Orang yang ingin memiliki foto pribadi harus datang ke studio foto untuk 'menyerahkan dirinya' difoto sesuai pesanan. Dalam jangka waktu tertentu hasil foto diserahkan studio foto. Ada relasi konsumen dan konsumen terbentuk di dalam berfoto.
Penjaga Sifat Narsis Zaman Old
Teknologi fotografi dan kepemilikan teknologinya berjarak dalam ruang dan waktu dengan setiap orang. Â Dalam jarak ruang, lokasi dan gaya foto seseorang ditentukan oleh fotografer atau studio foto yang memberi saran dan alternatif pada apa yang mereka miliki. Contohnya setting foto studio didasarkan apa yang ada di studio tersebut. Dalam hal jarak waktu, antara waktu keinginan seseorang berfoto dengan terwujudnya keinginan itu masih tergantung banyak hal, misalnya ketersediaan tempat berfoto (waktu buka foto studio) dan tukang fotonya. Kalau pun saat itu seseorang punya alat fotografi pribadi, hasilnya harus dicetak di studio foto. Memang ada era teknologi foto bisa langsung cetak dari alat foto (kamera), namun kepemilikannya sangat terbatas bagi yang punya banyak uang.
Adanya jarak ruang dan waktu disebabkan teknologi fotografi dan kepemilikan teknologi menjadikan orang "tak familiar" untuk berfoto. Berfoto bukan sesuatu yang dekat dengan keseharian waktu yang dijalani dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain dan seterusnya. Hal itu menjadikan 'sifat narsis' jadi terpendam atau terjaga.Â
Sifat Narsis merupakan hal naluriah pada setiap orang. Dengan begitu, secara tidak langsung, naluri narsis seseorang dibatasi dan dijaga oleh keterbatasan teknologi alat fotografi dalam ruang dan waktu. Â Kalau pun tiba-tiba ada kesempatan berfoto, sifat narsis itu seolah 'tergagap' dengan sendirinya. Selalu timbul rasa ragu oleh berbagai sebab. Narsis yang ragu dan tergagap itu bersumber pada "rasa malu".
Zaman now ,selfie atau pun wefie menjadi "wajib hukumnya" diunggah di akun medsos pribadi dan kelompok yang berarti mereka tampil ke ruang publik secara cepat, mudah dan murah. Hal itu  untuk mempertegas diri sebagai orang masa kini.
Transformasi Narsis dan Nilai Malu Kaum Zaman Old
Generasi zaman now tak ada rasa ragu, sungkan ataupun malu. Tak ada batasan apapun bagi mereka untuk tampil ke ruang publik selama smartphone dalam genggaman. Mereka bisa beraksi menjalankan sifat naluri narsisnya, sejak mulai bangun tidur hingga jelang tidur. Tak perduli situasi tempat apakah tempat formil atau non-formil, dalam suka cita ataupun duka cita, dalam keberuntungan atau kemalangan, atau bahkan sedang berbaju bagus atau tak berbaju sama sekali!