Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkompasiana, Transformasi Diri Menuju Ruang Sehat Rasa dan Logika

4 November 2017   10:22 Diperbarui: 4 November 2017   12:14 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; kompasiana.com

Menulis kenangan berkompasiana tak akan pernah habis bahan. Begitu banyak kenangan tertoreh. Untuk mengungkapkannya tak cukup satu tema dan judul. Namun semua itu bisa disatukan menjadi sebuah catatan tersendiri---bukan berbentuk highlight, melainkan mozaik. 

Dibandingkan Highlight---yang semata penggalan pengalaman tanpa menciptakan cerita---Mozaik mampu menghadirkan sensasi baru. Dalam Mozaik, gabungan dimensi pengalaman lahirkan kisah tersendiri. Mozaik itu menempatkan relasi saya dengan Kompasiana pada situasi "Terlalu manis untuk dilupakan. Kenangan yang indah bersamamu" (penggalan lagu "Terlalu Manis"-- grup band Slank) 

Timeline Diri dan Peta Transformasi

Saya kenal Kompasiana (edisi cetak) dari koran Kompas sekitar tahun 90-an. Penulis yang kerap mengisi rubrik itu adalah Budiarto Shambazy (BS), wartawan senior koran Kompas. 

Pada masa itu saya juga suka tulisan-tulisan Sindhunata yang kalau menulis masalah sosial-budaya dan sepak bola (piala dunia) maka pembaca seperti diajak ke dunia lain diluar sisi teknis atau opini mainstream. Dia hadirkan pemikiran dunia baru yang pragmatis sekaligus idealis, mekanis sekaligus humanis, liar sekaligus penuh referensi, nakal sekaligus inovatif, satire sekaligus pencerahan, imaginer sekaligus realistis. Kedua penulis itu menjadi idola dan memengaruhi saya berkompasiana hingga saat ini. 

sumber gambar :https://image.slidesharecdn.com/timelinedisplaystyle6powerpointpresentationslidesppttemplates-120602004946-phpapp02/95/timeline-display-style-6-powerpoint-presentation-slides-ppt-templates-1-728.jpg?cb=1338598235
sumber gambar :https://image.slidesharecdn.com/timelinedisplaystyle6powerpointpresentationslidesppttemplates-120602004946-phpapp02/95/timeline-display-style-6-powerpoint-presentation-slides-ppt-templates-1-728.jpg?cb=1338598235
Tahun 2009 saya kenal Facebook (FB). Pada masa itu FB jadi mainan baru yang ajaib. Kita bisa "dipertemukan" dengan kawan lama dari masa kecil, dari jaman SD sampai kuliah--yang tadinya tak diketahui rimbanya. Selain itu dapat banyak kawan baru dari seantero dunia dengan beragam latar belakang.

Facebook seperti bangunkan kegilaan saya yang tertindas rutinitas dan basa-basi dunia nyata. Kalau orang lain bikin status pakai kalimat pendek, saya justru bikin mirip sebuah artikel, walau bikin capek pembaca saya tidak perduli, yang penting pemikiran bisa ditulis dan bikin hati puas. 

Banyak isu sosial-politik bikin "pening palak" sementara saya punya pendapat sendiri mensikapi hal tersebut. Kemana penyalurannya? Ya, menulis di facebook.

Menulis opini di FB ada sensasi dari keliaran literasi yang tak didapatkan di koran. Maklum di tulisan opini koran harus lewat penyaringan redaksi. 

Bagi saya tahun 2009-2011 adalah masa keemasan main FB. Awalnya teman-teman mengatakan "status FB" saya aneh dan melelahkan. Saya kemudian bersiasat, agar menarik maka status itu saya bikin secara nakal, satire dan humor. Gaya ini dipengaruhi cara kolumnis Harry Roesli di Kompas Minggu yang sering saya baca. Lama-kelamaan FB saya mulai ramai, komen bisa ratusan. Saya pun serasa seleb di FB, cie..cie..cie! 

Untuk mengantisipasi hil-hil mustahal dan demi 'jaim' maka pertemanan dilakukan selektif. Orang yang tidak berteman dengan saya tidak bisa baca status FB saya. Saya tidak berteman dengan kolega dosen, mahasiswa, kakak, adik, istri dan yang terkait hubungan saudara. Saya tidak mau mereka kaget melihat sosok saya yang "aneh" di FB. Namun, hal itu tidak sepenuhnya bisa terjaga. Mereka mungkin "mendengar" dari temannya tentang kegokilan status dan ramainya komen FB saya. 

Seringkali pada acara tertentu seperti arisan, kondangan atau rapat mereka menanyakan status FB saya, dan minta jadi teman FB. Hadeuuh...terpaksa saya terima. Kekuatiran terbukti, saya sering dapat sindiran saat interaksi di dunia nyata.  Saya menjadi tidak nyaman. Mereka tidak bisa bedakan saya di dumay (FB) dan di dunia nyata. Akhirnya tahun 2011 saya putuskan berhenti main FB. Hampir semua tulisan saya hapus. Saya sisakan beberapa yang bersifat umum.

Tahun 2009-2010 saya jadi pembaca kompasiana.com lewat laman Kompas.com. Masa itu ada kanal "Agama" dan "Politik" yang isinya debat dan saling hujat agama. Kompasianer  terkenal di kanal itu adalah Erianto Anas, Traktor, Iblis, Setan dan beragam nama aneh lainnya. 

Saya heran media sebesar Grup Kompas ada konten "tak pantas" seperti itu. Tapi saya menikmati juga isinya. Ibarat baca stensilan porno, dinikmati karena "ngeri-ngeri sedap". Saya suka pada logika jungkir balik dan satirisme yang ada dalam debat itu. Mereka sangat berani dan nakal. Hahaha!

Awal tahun 2014 saya ditelpon kawan menanyakan kenapa tidak lagi "menulis" di FB. Dia menyarankan saya menulis di Kompasiana.com. Tapi saya tidak mau karena isi kompasiana "kayak gitu". Ngeriiii! Dia katakan bahwa Kompasiana sudah berubah lebih baik. Tidak horor kayak dulu. Hahahaha! Tak lama kemudian saya buka kompasiana, dan benar, isi dan tampilan Kompasiana.com sangat menarik. Sejak saat itu saya (kembali) membaca kompasiana, tapi belum berani membuat akun, apalagi menulis. Saya masih minder karena kompasiana media berskala nasional.

Pada tanggal 16 Pebruari 2014 saya bikin akun Kompasiana. Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 23 Pebruari 2014 saya posting tulisan pertama. Judul tulisan "Fenomena Keberuntungan dan Kebuntungan Akil Mochtar".

Pada masa itu lagi ramai kasus Akil Mochtar selaku  ketua MK terkena OTT KPK. Saya pun menulis tentang Akil Mochtar dari aspek humaniora politis. Kebetulan dia satu daerah dengan saya, jadi punya referensi tentang sisi lain Akil Mochtar. 

Tulisan itu saya posting pagi hari sebelum ke kampus. Saat istirahat makan siang ada sms masuk dari teman mengabarkan tulisan saya dapat Headline di kompasiana. Saya tidak terlalu paham soal Headline itu. Saya buka kompasiana,  pembaca tulisan saya sudah 500-an. Yang bikin saya senang bukan Headline-nya, tapi jumlah pembacanya banyak! Hahahahaha!

Tahun 2014 merupakan tahun politik pilpres. Saya pun lebih sering terlibat dalam tulisan politik. Bagi saya tulisan hebat itu kalau jumlah pembacanya ribuan dan ramai dikomentari. Hal itu jadi patokan saya berKompasiana. Saya tidak perduli teknis menulis dan kualitas tulisan, yang penting ramai dan bisa ha..ha..hi..hi dengan sesama Kompasianer sesuai motto kompasiana "Sharing and Connecting". Untuk bisa eksis, cara yang saya tempuh adalah rajin vote dan komen tulisan para Kompasianer terkenal masa itu seperti Ellen Maringka, Pakde Kartono, Gatot Swandito, Elde, Sayeed Al Kaif, Ninoy Karundeng, Pak Tjiptadinata, Daniel HT, Agung Soni, Ira Oemar, dll. 

Mengenal Kompasiana di tahun 2014 membangkitkan kenakalan lama dalam menulis seperti di facebook dulu. Spirit dan gaya berfacebookria ikut terbawa di Kompasiana. Tahun itu merupakan masa saya jatuh cinta pada Kompasiana. Saya tidak tahu apakah Kompasiana juga jatuh cinta pada saya karena sudah kebal mengalami cinta ditolak. Hahahaha!

Saat umur akun masih 7 bulan, masih kategori balita, masih pipis dicelana, belum bisa pasang celana, saya nekat hadir di Kompasianival di TMII. Padahal pada bulan even tersebut saya sedang penelitian di pedalaman Kalimantan, namun karena cinta dan pengen tahu apa itu Kompasiana secara lebih mendalam saya usahakan hadir di Kompasianival. Dari even itu saya jadi tahu dan kenal para Kompasianer seleb. Mata saya terbuka bahwa Kompasiana sebenarnya 'barang serius' lebih dari yang saya duga sebelumnya. Materi acara dan tokoh yang jadi pembicara menjadi bukti Kompasiana sebagai 'barang serius'.

Kompasianival 2014 menjadi awal perubahan cara pandang dan sikap kepenulisan saya dalam berkompasiana. Tak lagi semata hanya ber-hahahihi, namun harus ada "sesuatu" yang bisa menjadi nilai tambah bagi pemikiran dan kepribadian saya.

Tahun 2015 adalah masa perubahan saya berkompasiana. Teknis kepenulisan jadi perhatian saya untuk diperbaiki. Sementara intensitas menulis dan interaksi dengan sesama Kompasianer ditingkatkan.

Duel fiksi Pebrianov-Desol beraroma fiksi lendir dan darah yang bikin gempar jagat Kompasiana waktu itu jadi satu pengalaman dan pembelajaran berkesan. Saya sempat ditimpa berbagai gosip 'nganu' tapi tak menciutkan nyali untuk terus berkarya di Kompasiana. 

Tahun 2015 itu pula saya masuk dalam 5 orang kandidat Kompasianer of The Year 2015. Pada masa itu pemilihan masih pakai sistem lama. Ini pencapaian paling berkesan, mengingat saya baru 1,5  tahun berkompasiana.

Tahun 2016 merupakan masa pematangan kepenulisan. Walau secara kuantitas tulisan tidak setinggi tahun sebelumnya, namun aspek kualitas sudah lebih baik. Tahun 2016 saya kembali jadi kandidat Kompasiana Award. Kala itu untuk kategori Best Opinion. Walau sensasinya tidak sebesar waktu jadi nominee tahun 2015, saya tetap bersyukur dan berterimakasih kepada Kompasiana dan teman-teman Kompasianer.

Tahun 2017, merupakan masa pematangan yang jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ditahun ini aspek kualitas dan pemilihan isu tulisan sangat saya perhatikan.  Tahun ini merupakan reformasi kepenulisan saya untuk menyuaikan diri pada moto baru kompasiana "Beyond Blogging". 

sumber gambar : kompasiana.com
sumber gambar : kompasiana.com
Refleksi 

Selama 4 tahun di Kompasiana saya belajar lebih sabar menghadapi perbedaan pandangan dan pertentangan. Semua saya bawa kedalam suasana canda untuk menjalin pertemanan. Ada kepuasaan pribadi bila bisa berinteraksi positif dengan penulis lain yang berbeda pandangan. Perbedaan pandangan adalah keniscayaan, namun tidak untuk dijadikan permusuhan.

Disetiap waktu ber-Kompasiana selalu ada hal baru, baik itu pengalaman empiris, pemikiran, perenungan, refleksi, sensasi privat, dan banyak lagi. Satu sama lain berkaitan dalam "sebab-akibat" secara terus menerus yang menciptakan drama tersendiri, kemudian jadi referensi dan timeline kehidupan. 

Kalau baca ulang timeline diri ber-Kompasiana akan terlihat sebuah gambaran transformasi diri dari suatu tempat menuju ke tempat lain yang baru tanpa sepenuhnya meninggalkan jati diri tempat saya yang lama. Saya jadi memahami perjalanan diri dari  "cuma" seorang dari ruang-waktu lalu menjadi seseorang yang baru di kekinian --- tanpa kehilangan diri sendiri. Lewat kompasiana saya tetap liar namun penuh referensi,  pragmatis sekaligus idealis, mekanis sekaligus humanis,  satire sekaligus pencerahan, imaginer sekaligus realistis, nakal sekaligus nganu, bercelana tapi di kepala, hahahaha! yang jelas berbeda jauh dari masa jadi seleb di FB.

Berkompasiana menjadi sebuah drama tersendiri bagi saya. Sebagai wujud transformasi diri saya---dengan bekal lirik lagu Slank tadi----saya berusaha tidak terjebak pada lirik lawas Koes Plus berjudul "Andaikan Kau Datang". 

Terlalu indah dilupakan,Terlalu sedih dikenangkan,Setelah aku jauh berjalan,Dan kau ku tinggalkan,

Semoga saya mampu. Kalau pun kelak tidak mampu, maafkanlah kenakalan saya.

Selamat ulang tahun ke 9 Kompasiana. Semoga makin jaya dan Beyond Blogging!

---- 

Peb3/11/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun