Menulis kenangan berkompasiana tak akan pernah habis bahan. Begitu banyak kenangan tertoreh. Untuk mengungkapkannya tak cukup satu tema dan judul. Namun semua itu bisa disatukan menjadi sebuah catatan tersendiri---bukan berbentuk highlight, melainkan mozaik.Â
Dibandingkan Highlight---yang semata penggalan pengalaman tanpa menciptakan cerita---Mozaik mampu menghadirkan sensasi baru. Dalam Mozaik, gabungan dimensi pengalaman lahirkan kisah tersendiri. Mozaik itu menempatkan relasi saya dengan Kompasiana pada situasi "Terlalu manis untuk dilupakan. Kenangan yang indah bersamamu" (penggalan lagu "Terlalu Manis"-- grup band Slank)Â
Timeline Diri dan Peta Transformasi
Saya kenal Kompasiana (edisi cetak) dari koran Kompas sekitar tahun 90-an. Penulis yang kerap mengisi rubrik itu adalah Budiarto Shambazy (BS), wartawan senior koran Kompas.Â
Pada masa itu saya juga suka tulisan-tulisan Sindhunata yang kalau menulis masalah sosial-budaya dan sepak bola (piala dunia) maka pembaca seperti diajak ke dunia lain diluar sisi teknis atau opini mainstream. Dia hadirkan pemikiran dunia baru yang pragmatis sekaligus idealis, mekanis sekaligus humanis, liar sekaligus penuh referensi, nakal sekaligus inovatif, satire sekaligus pencerahan, imaginer sekaligus realistis. Kedua penulis itu menjadi idola dan memengaruhi saya berkompasiana hingga saat ini.Â
Facebook seperti bangunkan kegilaan saya yang tertindas rutinitas dan basa-basi dunia nyata. Kalau orang lain bikin status pakai kalimat pendek, saya justru bikin mirip sebuah artikel, walau bikin capek pembaca saya tidak perduli, yang penting pemikiran bisa ditulis dan bikin hati puas.Â
Banyak isu sosial-politik bikin "pening palak" sementara saya punya pendapat sendiri mensikapi hal tersebut. Kemana penyalurannya? Ya, menulis di facebook.
Menulis opini di FB ada sensasi dari keliaran literasi yang tak didapatkan di koran. Maklum di tulisan opini koran harus lewat penyaringan redaksi.Â
Bagi saya tahun 2009-2011 adalah masa keemasan main FB. Awalnya teman-teman mengatakan "status FB" saya aneh dan melelahkan. Saya kemudian bersiasat, agar menarik maka status itu saya bikin secara nakal, satire dan humor. Gaya ini dipengaruhi cara kolumnis Harry Roesli di Kompas Minggu yang sering saya baca. Lama-kelamaan FB saya mulai ramai, komen bisa ratusan. Saya pun serasa seleb di FB, cie..cie..cie!Â
Untuk mengantisipasi hil-hil mustahal dan demi 'jaim' maka pertemanan dilakukan selektif. Orang yang tidak berteman dengan saya tidak bisa baca status FB saya. Saya tidak berteman dengan kolega dosen, mahasiswa, kakak, adik, istri dan yang terkait hubungan saudara. Saya tidak mau mereka kaget melihat sosok saya yang "aneh" di FB. Namun, hal itu tidak sepenuhnya bisa terjaga. Mereka mungkin "mendengar" dari temannya tentang kegokilan status dan ramainya komen FB saya.Â