Banyak cara orang yang "biasa-biasa" Â saja namun terlihat Intelek. Mengapa demikian? Salah satunya karena dia suka dan pandai menulis. Sebaliknya, banyak orang yang mengaku Intelek, namun nyatanya tidak bisa menulis, bahkan untuk menulis hal yang sederhana sekalipun sehingga 'tak terlihat intelek'.
Secara umum, orang awam mengartikan intelek sebagai orang pintar, pandai bicara, punya jabatan  dan gelar akademis. Intelek bahkan kemudian disematkan atau identik dengan kaum sarjana (lulusan perguruan tinggi). Namun pengertian dalam kamus KBBI ternyata berbeda dengan pemahaman awam.  Intelek menurut KBBI adalah suatu daya atau proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir. Intelek identik dengan kaum terpelajar; cendekia. Adanya kriteria 'terpelajar' tersebut kemudian lebih dominan diartikan awam sebagai kaum yang pernah mengenyam pendidikan formil.  Benarkah demikian?
Intelektual sejatinya bukan semata terkait gelar akademis, melainkan kemampuan/daya serap berpikir seseorang dalam mengetahui, mengerti, menguasai dan  memahami sesuatu hal dan menjadikannya suatu ide atau konsep yang kemudian diwujudkan secara nyata kedalam ucapan,  tulisan, dan kerja nyata. Menurut filusuf Aristoteles, intelek terbagi atas dua bagian yakni pasif dan aktif, yang pasif menerima bahan dari indera sedangkan yang aktif mengolah bahan itu untuk menciptakan dan menghubungkan ide-ide menjadi sebuah pemikiran.Â
Jadi, seseorang tanpa gelar akademis tinggi pun (lulusan perguruan tinggi) bisa dikatakan intelek bila memenuhi kriteria defenisi intelek tersebut. Namun lagi-lagi, oleh pergeseran makna di dalam masyarakat, Intelek identik dengan kaum sarjana perguruan tinggi. Bila bukan Sarjana, sulit menyandang sematan 'Orang Intelek' ditengah masyarakat 'Jaman Now'. Waduuh!
Salah satu 'isyarat' disebut intelek adalah kemampuan menulis. Tentu saja tulisan yang dihasilkan merupakan sesuatu yang berguna bagi orang lain--selain kegunaan bagi diri sendiri.
Penguasaan teknis menulis dibutuhkan agar tulisan yang dihasilkan mudah dipahami orang lain (pembaca) serumit  apapun masalah yang akan ditulis. Tentu saja akan sangat sia-sia bila sebuah tulisan hanya bisa dipahami si penulis sendiri, dan proses dirinya sebagai Orang Intelek belum bisa dikatakan 'utuh'. Penguasaan teknis menulis menjadi alat seseorang menjadi orang intelek.  Penguasaan teknis tersebut tak selalu harus didapatkan dari sekolah yang tinggi. Proses otodidak bisa dilakukan, yakni dengan banyak membaca dan mempelajari tulisan-tulisan bagus dari orang lain sehingga lambat laun memahami cara menuangkan pemikiran menjadi sebuah tulisan.
Kompasiana Lahirkan Orang Intelek
Banyak penulis di Kompasiana (Kompasianer) ini yang "orang biasa-biasa saja" dari segi akademis. Mereka tidak pernah mengenyam bangku perguruan tinggi, namun punya kemampuan menulis sangat baik karena proses belajar secara otodidak. Tulisan Kompasianer itu enak dibaca, mudah dipahami dan memberi nilai tambah bagi pembacanya.Â
Mereka menulis tentang pengalaman pekerjaan atau kegiatan yang ditekuni di dalam masyarakat dengan maksud berbagi pengetahuan. Tulisan itu mengantarkan mereka pada anugerah penghargaan, pemberian tugas dan tanggung jawab-kewenangan atau jabatan melebih level pendidikan yang disandangya. Ada Kompasianer hanya lulusan SMA, namun karena kepandaian dan rajin menulis maka dia diberi kepercayaan jadi pembicara ditengah forum orang-orang berpendidikan sarjana S1 dan S2. Apakah si Kompasianer tersebut kalah intelek dari para sarjana? Tentu saja tidak!
Berangkat dari hal tersebut, Kompasiana bisa menjadi salah satu cara seseorang menjadi orang intelek. Di sini beraneka tulisan tersedia, dan beragam cara atau teknis menulis bisa dijadikan bahan pembelajaran menulis. Jangan malu dan tak usah ragu belajar dari tulisan siapa pun di Kompasiana, dan berproses lah dalam kegiatan tulis-menulis.Â
Seringkali dalam proses tersebut didapatkan 'kekurangan atau kelemahan' teknis/cara menulis Kompasianer lain yang mungkin "masih belajar' atau sudah pandai tapi "teledor atau kurang teliti" dalam penuangan gagasannya. Bagaimana hal itu bisa diketahui sementara kita sendiri dalam proses belajar? Seperti kata filusuf Aristoteles, ada proses aktif dan pasif dalam belajar---yang lama-kelamaan akan membentuk keintelektualan seseorang sehingga memiliki intuisi intelek. Dari intuisi tersebut membentuk daya refleksi selaku pembaca apakah dia dan sejumlah pembaca lainnya bisa memahami runtutan logika tulisan yang dibacanya. Selain itu ketersediaan beragam tulisan di Kompasiana tentang satu tema atau issue bisa dijadikan pembanding.
Seseorang yang memutuskan aktif dalam kegiatan menulis maka dia telah masuk kedalam "proses pemikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir". Proses itu secara langsung atau tidak telah membentuk dirinya menjadi orang intelek. Dalam konteks kegiatan menulis, menjadi 'Orang Intelek' bukan sebuah tujuan akhir, melainkan suatu proses yang terus menerus seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika kehidupan. Menjadi orang intelek hanyalah konsekuensi logis kegiatan menulis yang dilakukan secara terus menerus. Â Orang yang tidak menulis akan sulit masuk kedalam "ruang proses" tersebut. Apakah kemudian orang tersebut dikatakan "tidak intelek"? Tidak juga. Menulis adalah salah satu cara, dan orang tersebut bisa menjadi orang intelek dengan cara lain.
Pencapaian ke level 'menjadi orang intelek' karena cara aktif menulis dengan sendirinya memunculkan aura "terlihat intelek' dimata awam. Bagaimana mereka tahu? Salah satunya adalah karya-karya tulisan yang telah dihasilkan, dibaca dan mampu memberi 'pencerahan' banyak orang. Dari hal tersebut, salah satu turunannya adalah kemampuan terstruktur dan kehatian-hatian dalam bicara---yang didapatkan dari pembelajaran penuangan pemikiran runtut dalam bentuk tulisan.
Konteks 'terlihat intelek' bukan pula suatu tujuan sebuah kesombongan. Terlihat intelek bukan berarti 'orang yang tidak intelek namun mengaku intelek'. Orang yang 'terlihat intelek' tak bisa diciptakan secara tiba-tiba tanpa masuk kedalam 'proses menjadi intelek' tadi.
Anda boleh saja menolak atau tersipu malu kemudian menutup wajah dengan celana karena orang awam memandang anda 'terlihat intelek', namun anda tidak bisa menghindar dari 'terlihat intelek' karena orang banyak telah melihat bukti anda dalam "proses menjadi orang intelek", yakni lewat karya-karya tulisan anda.
Anda pun bisa saja membantah tulisan ini dengan membuat artikel bantahan. Tapi ingat, hal itu justru menguatkan anda terlihat intelek dimata orang. Raisa-in...eh, rasaiiin lu! Heu..heu..heu...
------
Peb/25/10/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H