Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Spirit Kegigihan Setnov di Antara Cecar Pengadilan Publik

3 Oktober 2017   03:46 Diperbarui: 3 Oktober 2017   14:50 1970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPR RI Setya Novanto meninggalkan Wisma Negara setelah menemui Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan, Jakarta, Kamis (15/1/2015).(DANY PERMANA)

Kini nama Setnov (Setya Novanto) makin akrab di telinga publik. Siapa yang tak kenal nama Setnov? Jangan mengaku jadi netizen atau orang berwawasan. Buang saja smartphone Anda, jual saja laptop atau tutup televisi dengan celana Anda... Heu heu...!

Sosok seorang Setnov selalu mampu jadi Hot News di negeri ini pada momentum "yang tepat" ketika beragam isu aktual kenegaraan, kebangsaan, debat ideologi dan bahkan gaya hidup berada di arus utama mata, telinga, bibir dan jari-jari lentik publik. Momentum Setnov itu kemudian berkembang menjadi "entitas pengadilan tersendiri" bagi publik --sementara Setnov sebenarnya bukanlah orang lain di dalam perayaan publik di mainstream isu-isu aktual tadi. Dia merupakan bagian para pelaku "pembangun negeri" ini melalui jabatan politis yang disandangnya. Momentum itu pula menjadikannya sosok Setnov diperhitungkan kawan dan lawan politiknya.

Dua Entitas Pengadilan

Entitas pengadilan menempatkan publik di posisi "hakim ex officio" pengetuk palu vonis Setnov sebagai pihak bersalah dan harus dihukum. Uniknya, entitas pengadilan publik nyatanya berjalan sendirian namun pararel dengan pengadilan nyata Pengadilan Negeri. Hasilnya pun berbeda. Padahal, hakim di ruang pengadilan selalu orang yang berbeda di setiap (dugaan) kasus Setnov. Sedangkan "hakim publik" selalu sama dari waktu ke waktu --berstatus "status quo" (tak berubah).

Sebelumnya mungkin perlu diingat kembali, Setnov bukan kali ini saja berurusan dengan pengadilan. Sejak "belum jadi terkenal" seperti sekarang hingga kini menduduki posisi puncak di parlemen dan parpol besar, Setnov sudah beberapa kali diduga terlibat kasus besar. Tercatat Setnov lolos di 7 kasus besar, yakni Cessie Bank Bali (1999), Beras Vietnam (2003), Limbah B3 (2006), Proyek PON Riau (2012), Papa Minta Saham (2015), Kode Etik DPR saat bertemu Trump (2015), dan yang sekarang kasus E-KTP (2017). Dia selalu menang di "pengadilan resmi", bukan di jalanan! Pelajaran apa yang bisa ditarik dari rangkaian kemenangan itu?

Kalau ruang Pengadilan Negeri dan hakimnya selalu tidak sama pada kasus-kasus dan waktu yang berbeda tentunya akan menghasilkan putusan yang "relatif" obyektif. Tim Hakim (selalu) tidak sama---yang bisa menjadi indikator menuju hasil keputusan adil. Kalau hakim kasus A di tahun tertentu menyatakan tidak bersalah, maka oleh hakim B di lain waktu dan kasus bisa saja Setnov mendapat vonis bersalah. Tapi nyatanya hakim yang berbeda-beda tetap menghadirkan keputusan; Setnov tidak melanggar kode etik, tidak bersalah atau tidak terlibat kasus!  

Sementara di jalur rel lain yang paralel tadi--dimana publik sebagai hakim "ex officio yang status quo" keputusan tetap sama ; Setnov dinyatakan bersalah dan dihukum secara sosial dengan beragam cemooh, hujatan, makian dan lain-lain dan bentuk verbal---literal dan visual.

Pertanyaannya, Siapa yang tidak adil ; seorang (tim) Hakim Pengadilan Negeri atau Hakim Publik (massa)? Kenapa hakim publik selalu menyatakan Setnov bersalah, sementara materi keputusan mereka hanya berdasarkan kabar sana-sini? Adakah pihak lain yang berperan membantu menciptakan keputusan "hakim publik"?

Setnov Petarung Handal

Seorang Setnov merupakan petarung handal dalam menjalani nasibnya sebagai orang politik --sebuah ruang nasib yang absurd bagi sebagian orang yang bermental tanggung. Setnov bukan orang bermental tanggung seperti itu. Dunia politik berwarna abu-abu. Tidak ada kawan sejati di sana, namun musuh abadi banyak. Ini yang---suka atau tidak suka---membuat Setnov dalam kondisi dan situasi tertentu bisa salah atau dipersalahkan. Kalau pun benar, masih bisa dipersalahkan terkait dinamika atau persaingan politik. Dan, Pengadilan Negeri merupakan ruang baginya untuk melakukan pembuktian "kebenaran dan kesalahan"dan pemenangan kebenaran secara hukum. Sah? Sah!

Rangkaian "kasus besar" dihadapinya di ruang pertarungan resmi, yakni gelangang pengadilan. Setnov bukan orang yang memiliki basis politik massa militan yang mampu menggerakkan jutaan orang untuk membela kasusnya. Setnov bukan orang cengeng dan penakut yang lari ke luar negeri setelah itu melemparkan "propaganda politis" ke rakyat dalam negeri untuk mengaburkan masalahnya sendiri.

Setnov fokus pada masalahnya dan penuh perhitungan. Dia adalah petarung yang profesional, dengan melibatkan anggota tim kerja yang cerdas, licin, menguasai taktik dan teknis pengadilan. Setiap hal kecil diperhitungkan secara cermat dan matang untuk dijadikan peluang pemenangan. Hal ini (sebenarnya) merupakan materi pelajaran yang seringkali terlewat oleh para Hakim Publik yang asyik dalam status quo-nya. Melihat Setnov secara "tendensius" akan membuat diri menjadi "ex officio" yang tak pernah maju.

Melihat beberapa kasus yang pernah melilitnya, Setnov ibarat masukan ke dalam sumur oli yang dalam. Dinding sumur itu sangat licin untuk bisa dipanjat. Setnov tidak lantas berteriak-teriak kepada loyalis dan publik untuk minta tolong ditarikkan ke atas.

Disana dia mengatur nafas, menghemat tenaga dan tak membuang energi yang tidak perlu. Dia sadar sedang berada dalam sumur oli tersebut dan tidak mau mati konyol di situ. Dia rasakan tingkat kekentalan oli yang berpotensi menenggelamkannya. Secara naluriah dia perkirakan atau ukur kedalaman sumur dimana kakinya masih melayang--dia berusaha terus mengambang. Dia amati sekeliling detail dinding sumur itu, mencari celah untuk dijadikan pegangan. Dirabanya permukaan dinding sumur untuk mengetahuai jenis teksturnya. Dia lihat waktu berjalan dan mengamati cuaca dan suhu yang memungkinkan kadar kekentalan dan  licin oli pada dinding berubah oleh iklim di atas maupun dalam sumur.  Dia perhitungkan semua secara cermat kemudian melakukan gerakan membebaskan diri secara tepat waktu--tak mau kehilangan momentum. Keputusan itu adalah momentum dirinya menyelamatkan diri.

Spirit Juang Setnov sebagai Universitas Kehidupan

Silahkan publik menjadi hakim ex officio di entitas ruang publik. Jalankan keputusan massal dengan cara pikir hukum massal, namun sebagai individu kiranya perlu juga meluangkan waktu dan ruang untuk melihat sisi lain seorang Setnov dalam spiritnya menghadapi berbagai "kasus hukum".

Segala rangkaian usaha-strategi-perjuangan dirinya dalam carut marut hukum dan politik sehingga menjadi Hot News dan "pemilik momentum" bisa jadi pembelajaran penting kita bersama. Bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan dengan cara menghadapi masalah itu, selalu fokus, temukan dan lakukan strategi tepat, lihat segala hal sekecil apapun untuk dijadikan peluang pemenangan. Tak perlu perduli apa kata (hinaan) orang sejauh upaya dilakukan dalam jalur dan iklim bermain di ruang pertarungan-perjuangan itu. Kalau di pengadilan, maka lakukan perjuangan cerdas di jalur hukum itu. Bukan kabur sambil merengek-rengek kepada publik seolah menjadi korban.

Ditengah cecar pengadilan publik, Setnov adalah sosok universitas kehidupan. Jurusan dan metode pengajarannya langka, unik dan punya daya saing dalam menghadapi persaingan nasional dan global. Kenapa tidak? Bukankah era global ini butuh ketangguhan, cerdas, cermat, efektivitas dan manuver licin untuk memenangkan dunia?

Saya berharap suatu saat di lain waktu dan tempat, Setnov mau berbagi pengalamannya dalam bentuk sebuah buku pengalaman hidup yang bisa dibaca banyak orang untuk bahan belajar tentang kehidupan. Kata Mukidi---penasehat spiritual saya---Setiap orang punya sisi terang dan sisi gelap. Kita perlu pelajari keduanya agar jadi bijak.

Kita mungkin seorang yang ramah dan santun di pergaulan dunia nyata tapi di sisi lain merupakan orang nyinyir dan kejam di dunia maya-media sosial. Saya mungkin dianggap sebagai penulis aktif di Kompasiana, tapi disisi lain tidak aktif menulis pakai celana. Itulah hidup. Heu..heu..heu..!

---

Pebrianov3/10/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun