Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meneropong Kekuatan Para Nominee "Best in Fiction" di Kompasiana Awards 2017

24 September 2017   08:25 Diperbarui: 24 September 2017   10:18 2190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; kompasiana.com

Para kandidat atau nomine Kompasiana Award tahun 2017 sudah diumumkan, (lihat di sini). Mereka merupakan penulis aktif yang layak untuk masuk nominasi memenangkan masing-masig kategori kepenulisan. Secara teknis berkompasiana, masing-masing nomine punya kekuatan yang khas. Hal inilah yang menjadikan mereka terpilih sebagai nomine.

Kali ini saya mencoba mengupas masing-masing kekuatan mereka tersebut. Saya tidak bermaksud "berkampanye" kepada salah satu nomine, melainkan memberi referensi bagi para pembaca (kompasianer). 

Tulisan saya ini hanya berupa Opini dan bersifat Subyektif berlandaskan "interaksi pasif dan aktif" saya selaku pembaca tulisan-tulisan mereka. Satu hal lagi, harus saya akui "subyektifitas paling parah" opini ini adalah tidak membaca secara adil jumlah karya masing-masing penulis.

Selama berkompasiana saya membaca banyak tulisan teman-teman Kompasiana namun tidak semua tulisan mereka saya baca. Ada yang banyak dan ada yang sedikit dikarenakan keterbatasan waktu membuka Kompasiana, momentum berkompasiana, dan tentu saja daya tarik tulisan lewat judul dan tema yang mereka sajikan. 

Subyektivitas tulisan ini kiranya tetap berusaha memiliki daya teropong yang kuat. Faktor banyak atau sedikit jumlah artikel mereka yang saya baca tidak mengurangi penilaian kualitatif terhadap "sosok karya mereka". Kata Mukidi---penasehat spiritual saya : "kekhasan si penulis berangkat dari  perulangan gaya dibanyak tempat dan peristiwa". Artinya, dengan membaca beberapa tulisan mereka akan terlihat kekhasan mereka. Semua itu merupakan "passion" masing-masing penulis-- laksana takdir yang tak bisa mereka elak. Nah, inilah yang bisa kita (saya) lihat dengan teropong tadi.

Berikut ulasan tentang lima orang Nominee Kategori Fiksi (Best in Fiction)

sumber gambar ; Kompasiana.com
sumber gambar ; Kompasiana.com
Lilik Fatimah Azzahra

Karya-karya fiksinya menampilkan "suara hati" perempuan yang peka akan situasi apapun yang sedang menyelimutinya. Relasi anak-Ibu sering jadi tema besar  fiksinya, baik dia sebagai anak maupun sebagai Ibu. Tema fiksinya juga sekitar "pertentangan" cara pandang si Ibu dan anak terhadap sesuatu yang tampak sederhana namun ketika menjadi cerpen tidaklah sesederhana yang semula dibayangkan. Disinilah pembaca diajak berperan menjadi salah satu pelaku dalam cerpen-cerpen Lilik. Kekuatan dramatik cerpen menyeret pembaca masuk dalam kehidupan dialog fiksi sehingga pembaca 'dipaksa' untuk berpihak pada salah satu tokoh dalam cerpennya. Seringkali pembaca dibikin "kaget" oleh penyelesaian akhir yang tak terduga---bahkan bisa terasa kejam.

sumber gambar ; kompasiana.com
sumber gambar ; kompasiana.com
Andi Wi

Karya Andi Wi hampir selalu menampilkan dirinya di banyak peran. Aku adalah tokoh utama fiksinya (cerpen dan puisi atau prosa). Beragam tema yang ditampilkan bernuansa "kegetiran" hidup sebagai "lelaki". Karena dia menjadi 'Aku' maka daya jelajahnya sangat dalam terhadap ke-Aku-an sosok manusia. Dibalik kegetiran itu sebenarnya Andi Wi sebagai "Aku" sedang melakukan kritik diri, refleksi, atau semacam pemberontakan atas realitas timpang menurut cara pandangnya. Kritik (kegetiran) ini sekaligus cara si "Aku" membangun selera humor yang tinggi yakni lewat kemampuan dia mentertawakan diri sendiri tanpa gelak yang riuh, melainkan sebuah keheningan di banyak tempat ramai dan populis. Si Aku berada di ruang hening seolah kesepian di tempat ramai. Disinilah kekuatan Andi Wi dalam membangun kehidupan fiksinya secara utuh.

sumber gambar ; kompasiana.com
sumber gambar ; kompasiana.com
S. Aji 

Karya fiksi S. Aji selalu berlandaskan "referensi literatur ilmiah", artinya fiksinya menampilkan sebuah pergolakan pemikiran si tokoh berdasarkan referensi buku-buku akademis  ilmu sosial (sosiologi), filsafat, budaya dan politik. Konsekuansinya, karya S.Aji memiliki bobot yang lebih--tak cuma fiksi mendayu semata--melainkan sebuah ayunan  filsafat yang dalam dan kaya. Inilah salah satu kekuatan S. Aji. Ibarat permainan Bola, kalau Nomineelain sudah klop di posisi sayap, striker, atau back sayap, maka S. Aji adalah seorang Gelandang dan kapten tim. Posisi ini memungkinkan dia masuk ke segala posisi yakni karya fiksi dengan masalah-tema/setting bernuansa politik, sosial, budaya kontemporer, sejarah, media, dll dengan nyaman berbekal kekayaan referensi tadi. Dia punya daya jelajah yang tinggi, kuat (panjang dan tahan lama, heu heu...) dengan melakukan pemilihan diksi yang "tidak biasa". Setiap kata atau kalimat diolahnya menjadi "entitas kehidupan" tersendiri di polemik fiksinya. Konsekuensi logis lainnya, para pembaca mau tidak mau harus punya referensi terlebih dahulu untuk bisa menikmati Fiksi karya S.Aji. Kalau kiranya tidak (belum) punya, maka fiksi S. Aji menjadi referensi baru penambah wawasan pembaca. Konsekuensi logis  tersebut adalah kekuatan karya fiksi S. Aji itu sendiri.

sumber gambar ; kompasiana.com
sumber gambar ; kompasiana.com
Wahyu Sapta 

Banyak karya fiksi Wahyu Sapta mewakili sosok perempuan dewasa muda, yang berkisah tentang cinta (pergolakan suasana hati) dan relasi pertemanan masa kini. Realitas yang diangkat adalah sebuah penjelajahan masa kini, dimana perenungannya bersifat pragmatis-populis. Sapta tak hendak mengajak pembaca bersusah payah dalam kesedihan, melainkan kegembiraan di permasalahan sepait apapun. Ini sangat mewakili gaya anak muda jaman now! (sekarang). Namun demikian, seringkali pula karya fiksi Wahyu Sapta (cerpen dan puisi) berusaha menjelajah lebih dalam laksana orang tua yang kaya pengalaman. Hal itu dia lakukan sebagai "pemberontakan" atas diri sendiri (si tokoh) yang jenuh pada kedangkalan-kedangkalan pemaknaan realitas. Sebagai perempuan muda, dia ingin "belajar naik" atau menggapai sesuatu di atas, uniknya, penyampaiannya yang populis membuatnya tampak tangguh dibalik nafas terengahnya untuk "terlihat serius" sebagai perempuan beranjak matang. Cara bertutur populis dan gurih menjadi kekuatan karya-karya fiksi Wahyu Sapta untuk dinikmati semua kalangan.

sumber gambar ; kompasiana.com
sumber gambar ; kompasiana.com
Jansori Andesta

Karya fiksi Kompasianer asal Bengkulu ini didominasi puisi. Cara dia menampilkannya dengan pemilihan kata atau kalimat pendek. Setiap deret kalimatnya terlihat sangat efesien tapi penuh makna. Ini bukan hal yang gampang, bahkan boleh dibilang sulit karena banyak hal yang dia lihat dan rasakan berpeluang dijabarkan dengan banyak kata, namun dia justru memadatkannya secara jitu. Cara tutur yang jitu ala Jansori membuat puisinya tidak terjerumus pada romantika cengeng dan tidak terjebak alunan mendayu-dayu sehingga pembaca bisa menikmati kata demi kata tanpa bosan. Selalu ada kata (frasa) bermakna yang menyentak pembacanya hingga tak terasa usai lah fiksi itu meninggalkan kesan mendalam. Fiksi Jansori Andesta tak melulu tentang cinta seorang kekasih, melainkan hal lain yang didasarkan kepekaan sosial dan realitas kekinian yang sangat dekat pada kehidupan. Ini menjadikan pembaca tidak merasa asing pada tema yang dia sajikan. Pembaca menjadi mudah masuk kedalam"pergolakan" fiksinya. Pembaca peminat puisi bisa belajar banyak dari cara Jansori memilih diksi sederhana yang ringkas namun sarat makna. Inilah kekuatan karya-karya fiksi Jansori Andesta.

----

Demikianlah sedikit ulasan 5 orang kandidat pemenang "Best in Fiction" Kompasiana Award 2017. Dengan masing-masing  ciri khasnya, kelima orang itu seolah mewakili beberapa gaya berbeda di dalam "entitas genre" fiksi. Inilah yang menjadikan kehadiran para nominee tersebut menarik. Satu hal lagi, kelimanya merupakan kompasianer yang konsisten berkarya sepanjang tahun ini dan sebelumnya. 

Secara khusus saya menyorot 3 orang, yakni : S.Aji, Lilik Fatimah dan Andi Wi, ketiganya--sependek ingatan saya--pada tahun terdahulu juga pernah masuk Nominee. Jadi Kompasianival kali ini adalah kali kedua atau ketiga mereka jadi Nominee. Mereka telah melewati beberapa Kompasianival namun tak menghilangkan diri usai padamnya lampu panggung Kompasianival tahun-tahun lalu. 

Semoga ulasan itu bermanfaat dan jadi referensi anda memilih kandidat (nominee). Saya juga akan memilih salah satu dari mereka, tapi karena saya lelaki pemalu, maka saat ini tidak saya cantumkan di sini, takut celana saya mendadak kedodoran karena gugup. Heu heu heu...

Pemirsaaah..saya akan mengulas kategori lainnya di  kesempatan lain pula. Untuk itu, anda jangan kemana-mana, tetaplah di Kompasiana...setelah yang berikut ini...(eeh, saya udah mirip hoast Nazwa Shihab gak seeeh? Hak hak hak! 

---- 

Peb 24/09/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun