Karya fiksi S. Aji selalu berlandaskan "referensi literatur ilmiah", artinya fiksinya menampilkan sebuah pergolakan pemikiran si tokoh berdasarkan referensi buku-buku akademis  ilmu sosial (sosiologi), filsafat, budaya dan politik. Konsekuansinya, karya S.Aji memiliki bobot yang lebih--tak cuma fiksi mendayu semata--melainkan sebuah ayunan  filsafat yang dalam dan kaya. Inilah salah satu kekuatan S. Aji. Ibarat permainan Bola, kalau Nomineelain sudah klop di posisi sayap, striker, atau back sayap, maka S. Aji adalah seorang Gelandang dan kapten tim. Posisi ini memungkinkan dia masuk ke segala posisi yakni karya fiksi dengan masalah-tema/setting bernuansa politik, sosial, budaya kontemporer, sejarah, media, dll dengan nyaman berbekal kekayaan referensi tadi. Dia punya daya jelajah yang tinggi, kuat (panjang dan tahan lama, heu heu...) dengan melakukan pemilihan diksi yang "tidak biasa". Setiap kata atau kalimat diolahnya menjadi "entitas kehidupan" tersendiri di polemik fiksinya. Konsekuensi logis lainnya, para pembaca mau tidak mau harus punya referensi terlebih dahulu untuk bisa menikmati Fiksi karya S.Aji. Kalau kiranya tidak (belum) punya, maka fiksi S. Aji menjadi referensi baru penambah wawasan pembaca. Konsekuensi logis  tersebut adalah kekuatan karya fiksi S. Aji itu sendiri.
Banyak karya fiksi Wahyu Sapta mewakili sosok perempuan dewasa muda, yang berkisah tentang cinta (pergolakan suasana hati) dan relasi pertemanan masa kini. Realitas yang diangkat adalah sebuah penjelajahan masa kini, dimana perenungannya bersifat pragmatis-populis. Sapta tak hendak mengajak pembaca bersusah payah dalam kesedihan, melainkan kegembiraan di permasalahan sepait apapun. Ini sangat mewakili gaya anak muda jaman now! (sekarang). Namun demikian, seringkali pula karya fiksi Wahyu Sapta (cerpen dan puisi) berusaha menjelajah lebih dalam laksana orang tua yang kaya pengalaman. Hal itu dia lakukan sebagai "pemberontakan" atas diri sendiri (si tokoh) yang jenuh pada kedangkalan-kedangkalan pemaknaan realitas. Sebagai perempuan muda, dia ingin "belajar naik" atau menggapai sesuatu di atas, uniknya, penyampaiannya yang populis membuatnya tampak tangguh dibalik nafas terengahnya untuk "terlihat serius" sebagai perempuan beranjak matang. Cara bertutur populis dan gurih menjadi kekuatan karya-karya fiksi Wahyu Sapta untuk dinikmati semua kalangan.
Karya fiksi Kompasianer asal Bengkulu ini didominasi puisi. Cara dia menampilkannya dengan pemilihan kata atau kalimat pendek. Setiap deret kalimatnya terlihat sangat efesien tapi penuh makna. Ini bukan hal yang gampang, bahkan boleh dibilang sulit karena banyak hal yang dia lihat dan rasakan berpeluang dijabarkan dengan banyak kata, namun dia justru memadatkannya secara jitu. Cara tutur yang jitu ala Jansori membuat puisinya tidak terjerumus pada romantika cengeng dan tidak terjebak alunan mendayu-dayu sehingga pembaca bisa menikmati kata demi kata tanpa bosan. Selalu ada kata (frasa) bermakna yang menyentak pembacanya hingga tak terasa usai lah fiksi itu meninggalkan kesan mendalam. Fiksi Jansori Andesta tak melulu tentang cinta seorang kekasih, melainkan hal lain yang didasarkan kepekaan sosial dan realitas kekinian yang sangat dekat pada kehidupan. Ini menjadikan pembaca tidak merasa asing pada tema yang dia sajikan. Pembaca menjadi mudah masuk kedalam"pergolakan" fiksinya. Pembaca peminat puisi bisa belajar banyak dari cara Jansori memilih diksi sederhana yang ringkas namun sarat makna. Inilah kekuatan karya-karya fiksi Jansori Andesta.
----
Demikianlah sedikit ulasan 5 orang kandidat pemenang "Best in Fiction" Kompasiana Award 2017. Dengan masing-masing  ciri khasnya, kelima orang itu seolah mewakili beberapa gaya berbeda di dalam "entitas genre" fiksi. Inilah yang menjadikan kehadiran para nominee tersebut menarik. Satu hal lagi, kelimanya merupakan kompasianer yang konsisten berkarya sepanjang tahun ini dan sebelumnya.Â
Secara khusus saya menyorot 3 orang, yakni : S.Aji, Lilik Fatimah dan Andi Wi, ketiganya--sependek ingatan saya--pada tahun terdahulu juga pernah masuk Nominee. Jadi Kompasianival kali ini adalah kali kedua atau ketiga mereka jadi Nominee. Mereka telah melewati beberapa Kompasianival namun tak menghilangkan diri usai padamnya lampu panggung Kompasianival tahun-tahun lalu.Â
Semoga ulasan itu bermanfaat dan jadi referensi anda memilih kandidat (nominee). Saya juga akan memilih salah satu dari mereka, tapi karena saya lelaki pemalu, maka saat ini tidak saya cantumkan di sini, takut celana saya mendadak kedodoran karena gugup. Heu heu heu...
Pemirsaaah..saya akan mengulas kategori lainnya di  kesempatan lain pula. Untuk itu, anda jangan kemana-mana, tetaplah di Kompasiana...setelah yang berikut ini...(eeh, saya udah mirip hoast Nazwa Shihab gak seeeh? Hak hak hak!Â
----Â