Manusia menciptakan sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak dapat membuatnya sebagaimana yang mereka inginkan ; mereka tidak menciptakan sejarah dibawah kondisi yang dapat mereka pilih sendiri  tetapi dibawah kondisi yang secara langsung dihadapi, diberikan dan diteruskan dari masa lampau. (Marx & Engels, 1968 : 97).
Pernyataan tersebut diatas berasal dari dua orang pemikir berkebangsaan Jerman terkenal abad ke 18, yakni Karl Max dan Friedrich Engels. Keduanya saling bersahabat kental. Mereka berdua juga sering disebut sebagai Bapak Pendiri Komunisme dengan pemikiran-pemikran Marxisme-nya. Lalu, apakah seorang Pebrianov juga berteman akrab dengan mereka? Ampun, juragan! Suer, sumpeh... saya tidak kenal mereka berdua. Alasannya, saya Kompasianer sementara mereka berdua bukan. heu heu heu...
Tulisan ini tidak sedang mengupas kedua orang sahabat itu, namun sedikit banyak "peninggalan" paham kedua Bapak Komunis tersebut telah mewarnai perjalanan sejarah negeri ini---yang bahkan sampai saat ini. Kalau dulu, paham kedua orang itu menjadi bagian formil dari gerak bangsa, negara dan pemerintahan negeri kita terutama di era tahun 1948-1960an. Kini secara formil tidak ada lagi, dan telah menjadi bagian sejarah, namun polemiknya masih dibicarakan sampai saat ini.
Polemik G30S/PKI bagai tak berkesudahan usai Partai Komunis Indonesia (PKI) secara resmi partai itu dibubarkan pemerintah Orde Baru. Walau telah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang sepanjang masa oleh pemerintah melalui ketetapan MPR, nyatanya pemerintah Orde Baru meninggalkan "oleh-oleh berkesan" bagi seluruh anak bangsa negeri ini, yakni  film "Penumpasan Pengkhianatan Gerakan G30S/PKI". Tujuannya adalah untuk dijadikan pembelajaran sejarah bangsa ini agar tak mengulang atau tak lagi mengalami masa kelam pengaruh komunisme didalam berbangsa dan bernegara.
Film G30S/PKI bagai bahan bakar yang tak pernah habis untuk menghangatkan suhu politik dan membakar suasana ruang batin rakyat Indonesia. Oleh segelintir orang "itu barang" selalu diambil kembali kemudian digunakan pada momen-momen tertentu demi kepentingan politisnya ditengah beragam isu dan masalah kekinian bangsa ini, hingga tercetuslah ide Presiden Jokowi untuk "membuat kembali" film bertema G30S/PKI.Â
Pertanyaannya adalah, apakah hal itu berarti sebuah pelurusan sejarah dengan interpretasi berlandaskan kepentingan (politik) tertentu? Atau, membuat "sejarah baru" dengan maksud memberikan sumbangan pengetahuan/wawasan baru? Atau, hanya sebuah tanggapan terhadap perdebatan yang terjadi selama ini?
Kalau diturutkan lagi bisa memunculkan beragam pertanyaan serta praduga publik yang (kini) melahirkan polemik tersendiri.Â
Sebuah film sejarah merupakan karya seni sinematografi yang kemudian menjadi referensi sejarah itu sendiri. Sementara 'sejarah' adalah entitas lain (tersendiri) yang menjadi obyek dari film sejarah tersebut. Untuk membuat film sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan, mau tidak mau pelaku sejarah harus melakukan riset historis.Â
Konon pada film G30S/PKI buatan Orde Baru, Arifin C Noer selaku sutradara (bersama tim) telah melakukan riset sejarah PKI selama 2 tahun. Tidak diketahui secara pasti bagaimana metode riset sejarah yang digunakan. Namun demikian ada baiknya kita mengetahui sedikit teori dasar metode riset sejarah sebagai penambah wawasan.