Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Labirin Demokrasi Maya di Ruang Kebebasan Berpendapat

13 September 2017   04:56 Diperbarui: 14 September 2017   14:08 2998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com

Tertangkapnya Asma Dewi dan Dodik Ihwanto menambah deret orang yang harus berurusan dengan hukum terkait aktivitasnya terutama di media sosial. 

Asma Dewi dikaitkan dengan keberadaan aktivitas Saracen--produsen ujaran kebencian di media sosial, sedangkan Dodik Ihwanto--lewat akun pribadinya di media sosial--diduga pelaku penghinaan terhadap Ibu Negara, Iriana Widodo. Tak jauh beda waktunya, Jonru juga harus berurusan dengan hukum. Dia diadukan ke aparat hukum karena diduga sebarkan fitnah terhadap pemerintah.

Kasus hukum ketiga orang tersebut menimbulkan kehebohan dan ragam pendapat masyarakat. Ada yang mendukung aparat hukum, dan ada pula mempertanyakan (menolak) penangkapan mereka dengan alasan beragam--salah satunya bermuara pada pembelaan kebebasan ruang berpendapat (demokrasi).

Ruang Demokrasi Penuh Labirin

Zaman kini pengaruh media sosial sangat besar pada pembentukan cara pandang publik terhadap masalah aktual di negeri ini. Lewat media sosial arus informasi sangat cepat dan besar bisa didapat para penggiat internet (warganet). Dengan jumlah 136 juta pegiat internet di Indonesia bisa dibayangkan arus informasi berita dan pendapat yang terbaca kemudian membentuk pikiran publik.

Bagi sebagian warganet, media sosial merupakan entitas ruang demokrasi tersendiri--selain di dunia nyata. Entitas itu memuat perbedaan cara pandang politik, sehingga mereka seperti dalam situasi terkotak-kotak. 

Mereka seperti dalam labirin, masing-masing berada dalam kotak-kotak kecil yang satu sama lain saling terkait namun--sering terlupakan---sebenarnya mereka berada dalam satu ruang besar yang sama, yakni ruang Indonesia. Pada pertemuan antar-ruang dikaitan itulah "konflik" pun terjadi---dan realitasnya--mereka cenderung memperkuat masing-masing labirin kelompoknya. Inilah salah satu dinamika unik demokrasi.

Labirin itu adalah positioning diri mereka di ruang besar demokrasi. Sebagian menganggap entitas maya (media sosial) punya kebebasan mutlak untuk berekspresi karena dunia maya adalah ruang tanpa batas, tanpa aturan, tanpa polisi, dunia tanpa struktur atau hirarki yang menempatkan setiap individu punya kedudukan (level) yang dengan individu lain di ruang demokrasi itu.

sumber gambar : https://4.bp.blogspot.com
sumber gambar : https://4.bp.blogspot.com
Keniscayaan Eksistensi Berbangsa dan Bernegara

Pemerintah melihat ruang maya punya potensi positif dan negatif bagi pembelajaran politik dan demokrasi pada masyarakat. Pada potensi positif menjadikan masyarakat lebih cerdas, kritis, punya kepedulian dan rasa hormat pada bangsa, negara dan pemerintahnya. Pada potensi negatif  bisa menjadikan masyarakat berpikir dan bertindak bodoh (konyol) sehingga bangsa dan negara ini tercerai-berai, dipenuhi rasa permusuhan dan konflik antar anak bangsa. Untuk mengantisipasi potensi negatif itulah pemerintah membuat Undang-Undang ITE sehingga demokrasi di dunia maya punya aturan dan ada polisinya--dengan tanpa menghambat kebebasan berekspresi (demokrasi) itu sendiri.

Kita bisa bayangkan jumlah136 juta pengguna internet--yang sebagian besar memiliki akses ke media sosial--teracuni cara berpikir demokrasi dan politik yang salah kemudian tercerai-berai lah bangsa dan negara ini. Setiap individu dan kelompok tak henti saling bertikai, saling mencela, menfitnah dan bahkan saling bunuh. 

Di sisi lain hilang rasa hormat pada alat-alat dan simbol negara. Hal itu menjadikan bangsa ini bukan hanya tidak produktif membangun ditengah persaingan dengan negara lain, melainkan juga hancur lebur! Sebuah keniscayaan lain ; kondisi bangsa kita jadi tertawaan bangsa lain, dan diam-diam mereka meraih banyak keuntungan politis-ekonomi atas konflik demokrasi-politik internal negara kita.

sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com
sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com
Jonru, Asma Dewi, Dodik dan sederet "aktivis media sosial" lainnya yang tersangkut kasus hukum merupakan orang-orang yang tadinya nyaman di labirin demokrasi maya. Dalam benak mereka, kebebasan berpendapat analog dengan maha luasnya dunia maya (media sosial). Mereka tidak sadar atau tidak mau peduli adanya aturan pemerintah. Mereka cenderung lebih mengutamakan eksistensi labirin maya mereka sendiri---yang berpotensi membahayakan eksitensi bangsa dan negara ini.

Konsekuensi logis telah mereka didapatkan, namun tidak pada nikmat kebebasan berselancar di labirin dunia maya, melainkan di labirin dunia nyata : yakni (kemungkinan) sangsi hukum yang berujung di ruang penjara. Ruang itu masih mirip labirin, tapi tak ada kebebasan dan kenikmatan.

------

Peb/13/09/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun