Tertangkapnya Asma Dewi dan Dodik Ihwanto menambah deret orang yang harus berurusan dengan hukum terkait aktivitasnya terutama di media sosial.Â
Asma Dewi dikaitkan dengan keberadaan aktivitas Saracen--produsen ujaran kebencian di media sosial, sedangkan Dodik Ihwanto--lewat akun pribadinya di media sosial--diduga pelaku penghinaan terhadap Ibu Negara, Iriana Widodo. Tak jauh beda waktunya, Jonru juga harus berurusan dengan hukum. Dia diadukan ke aparat hukum karena diduga sebarkan fitnah terhadap pemerintah.
Kasus hukum ketiga orang tersebut menimbulkan kehebohan dan ragam pendapat masyarakat. Ada yang mendukung aparat hukum, dan ada pula mempertanyakan (menolak) penangkapan mereka dengan alasan beragam--salah satunya bermuara pada pembelaan kebebasan ruang berpendapat (demokrasi).
Ruang Demokrasi Penuh Labirin
Zaman kini pengaruh media sosial sangat besar pada pembentukan cara pandang publik terhadap masalah aktual di negeri ini. Lewat media sosial arus informasi sangat cepat dan besar bisa didapat para penggiat internet (warganet). Dengan jumlah 136 juta pegiat internet di Indonesia bisa dibayangkan arus informasi berita dan pendapat yang terbaca kemudian membentuk pikiran publik.
Bagi sebagian warganet, media sosial merupakan entitas ruang demokrasi tersendiri--selain di dunia nyata. Entitas itu memuat perbedaan cara pandang politik, sehingga mereka seperti dalam situasi terkotak-kotak.Â
Mereka seperti dalam labirin, masing-masing berada dalam kotak-kotak kecil yang satu sama lain saling terkait namun--sering terlupakan---sebenarnya mereka berada dalam satu ruang besar yang sama, yakni ruang Indonesia. Pada pertemuan antar-ruang dikaitan itulah "konflik" pun terjadi---dan realitasnya--mereka cenderung memperkuat masing-masing labirin kelompoknya. Inilah salah satu dinamika unik demokrasi.
Labirin itu adalah positioning diri mereka di ruang besar demokrasi. Sebagian menganggap entitas maya (media sosial) punya kebebasan mutlak untuk berekspresi karena dunia maya adalah ruang tanpa batas, tanpa aturan, tanpa polisi, dunia tanpa struktur atau hirarki yang menempatkan setiap individu punya kedudukan (level) yang dengan individu lain di ruang demokrasi itu.
Pemerintah melihat ruang maya punya potensi positif dan negatif bagi pembelajaran politik dan demokrasi pada masyarakat. Pada potensi positif menjadikan masyarakat lebih cerdas, kritis, punya kepedulian dan rasa hormat pada bangsa, negara dan pemerintahnya. Pada potensi negatif  bisa menjadikan masyarakat berpikir dan bertindak bodoh (konyol) sehingga bangsa dan negara ini tercerai-berai, dipenuhi rasa permusuhan dan konflik antar anak bangsa. Untuk mengantisipasi potensi negatif itulah pemerintah membuat Undang-Undang ITE sehingga demokrasi di dunia maya punya aturan dan ada polisinya--dengan tanpa menghambat kebebasan berekspresi (demokrasi) itu sendiri.
Kita bisa bayangkan jumlah136 juta pengguna internet--yang sebagian besar memiliki akses ke media sosial--teracuni cara berpikir demokrasi dan politik yang salah kemudian tercerai-berai lah bangsa dan negara ini. Setiap individu dan kelompok tak henti saling bertikai, saling mencela, menfitnah dan bahkan saling bunuh.Â