Kini korupsi tak hanya menjadi domain pejabat laki-laki saja. Pejabat perempuan pun "sudah mampu berperan serta". Korupsi bukan lagi sesuatu yang tabu bagi perempuan pejabat dan perempuan di lingkaran terdekat pejabat.Â
Berita terkini, pejabat publik yang lagi 'apes' tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK (OTT KPK) adalah Wali Kota Tegal, seorang perempuan. Beberapa waktu lalu, Bupati Klaten yang juga seorang perempuan terkena OTT. Penangkapan itu menambah deretan pejabat perempuan yang terkena OTT KPK. Di sisi lain, ada juga perempuan yang berstatus istri pejabat yang tertangkap OTT KPK, masih terkait jabatan suaminya.
Politik dan kekuasan sebagai anak kandung demokrasi telah menempatkan posisi perempuan dan lelaki pada level yang sama. Lebih lanjut, konstelasi politik dan kekuasaan terkini tak mengenal segregasi gender. Di sinilah tantangan pelaku politik dan kekuasaan, apapun gendernya, taruhannya adalah integritas. Bukan wajah tampan atau cantik bak artis ternama. Bukan pula sikap tenang penuh kata bijak laksana malaikat.
Politik, milik dunia maskulin?
Bila menyimak perjalanan sejarah dan politik bangsa ini sebelumnya tidak banyak perempuan berkecimpung di dalamnya karena dunia politik seolah milik para lelaki. Dunia politik itu pun diklaim bersifat maskulin. Sementara domain perempuan adalah sektor domestik (rumah tangga dan keluarga) yang bersifat feminin. Namun berjalannya waktu, kini perempuan jauh lebih maju dalam berkiprah. Zona maskulin dan feminin tak lagi memiliki batas yang jelas.
Pasca orde reformasi, kesadaran perlunya pelibatan perempuan secara kuantitas dan instensivitas dalam politik muncul mengingat secara statistik jumlah perempuan relatif lebih banyak dibanding laki-laki. Keputusan politik negara kemudian mensyaratkan minimal 30 persen perempuan di parlemen. Syukur-syukur bisa lebih banyak, sehingga kepentingan perempuan "yang khas" bisa lebih diselami dan diakomodir pada banyak keputusan politis terkait kepentingan publik.
Ketika keran demokrasi kontemporer terbuka dan para perempuan "berbondong-bondong" masuk dalam zona "maskulitas" politik negeri ini, publik pun berharap banyak pada mereka. Kandungan "feminisme" dalam diri perempuan diharapkan jadi "oase" di padang maskulinitas politik yang sudah "jenuh" karena lamanya rezim lelaki menguasainya. Sifat intuitif, kepedulian, rasa kasih sayang, kelembutan dan sosok estetis perempuan setidaknya bisa memperkaya dinamika positif dunia politik.
Namun kenyataan yang tersaji di ruang publik tak seindah harapan bawah sadar mereka. Kemunculan perempuan pejabat pada kasus-kasus korupsi besar di negeri ini menghentakkan publik yang masih penuh harap pada kehadiran perempuan pejabat tersebut. Mereka berlaku tak lebih baik dari laki-laki pejabat. Sisa-sisa tabu dan sekat feminimisme-maskulinisme dalam benak publik perlahan 'hilang' ketika gebyar si cantik dan terkenal menjadi tersangka korupsi. Celakanya, kegeraman publik kadang lebih sadis kepada oknum pejabat perempuan tersebut.Â
Hukuman sosial
Hukuman sosial publik terhadap perempuan korup nyatanya lebih "kejam". Publik tak segan menelanjangi mereka dari sisi kehidupan privat dan sosok fisik--sesuatu yang relatif jarang dialami pejabat laki-laki yang korup. Muncul berbagai komen, gambar meme, dan segala ungkapan verbal "kasar" terhadap perempuan korup di ruang publik yang bikin miris. Contohnya, "Cantik-cantik kok hatinya iblis", "Pantas saja korupsi, baju, tas, dan dandanannya mahal gitu, sih...." Dan masih banyak lagi ungkapan lainnya yang "tak terkait" dengan tindakan koruptifnya, yang jarang dialami laki-laki pejabat yang koruptif.
Umpatan atau lebih tepatnya "pelecehan" fisik perempuan lebih mengemuka dibandingkan kasusu yang sama yang dilakukan pejabat laki-laki koruptif.
Harapan publik pada estetika dunia perempuan yang semula tinggi berubah secara ekstrim. Unsur tabu masa lalu seolah dihidupkan dan dikomodifikasikan dalam umpatan kekecewaan yang dalam. Perlakuan publik seperti ini--secara sadar atau tidak--sebenarnya telah menghidupkan kembali segregasi gender dalam bentuk "negatif" dan di ruang negatif. Artinya, publik tak sepenuhnya meninggalkan paham segregasi jender dalam melihat kipraf politik dan kekuasaan sertan demokrasi pada umumnya.
Pejabar perempuan koruptif dan gerakan emansipasi
Terkait fenomena perempuan pejabat terkena OTT (koruptif), perlu kiranya para penggerak emansipasi dan kaum berpaham feminisme membuat konsep gerakan internal yang lebih komprehensif, khususnya terhadap pelaku politik perempuan untuk tidak hanya berteriak menuntut kuota, jumlah, dan hal-hal bersifat fisik-kuantitas. Mereka perlu merumuskan bagaimana perempuan pelaku politik tersebut agar "tidak ikut-ikutan" oknum pejabat laki-laki bertindak koruptif dengan dalih dinamika politik atau apapun.