Setiap tahun menjelang tanggal 17 Agustus banyak pedagang bendara, spanduk, baliho dan umbul-umbul buka lapak di pinggir jalan. Momen peringatan hari kemerdekaan RI 17 Agustus jadi harapan mereka untuk dapatkan rezeki. Beragam ukuran bendera, umbul-umbul, dan segala pernak-pernik hiasan bernuansa 17 HUT Kemerdekaan RI mereka gelar secara rapi.
Suasana ruas jalan di perkotaan jadi semarak oleh pajangan bendera merah putih beragam ukuran milik pedagang "liar". Mereka seolah tak peduli ruas pinggir pinggir jalan itu kawasan bukan diperuntukkan untuk berjualan, yang penting mata dagangan bendera bisa mencolok terlihat banyak orang yang lewat. Di sisi lain, tampaknya otoritas kota pun memberi ruang permisif bagi pedagang bendera untuk buka lapak dagang musiman tersebut, asalkan bisa tertib, rapi dan tidak menggangu lalu lintas umum.Â
Bendera dan Rasa Indonesia
Jelang HUT Kemerdekaan kitapun merasakan Indonesia. Pajangan pedagang bendera turut menambah semarak kota. Tapi setelah 17-an usai, apakah rasa Indonesia itu tetap ada? Pertanyaan ini sifatnya reflektif bagi setiap orang yang jadi bagian bangsa Indonesia.Â
Ketika kehidupan sehari-hari terjebak rutinitas dan sikap fight kita sering lupa sebagai sebuah bangsa Indonesia. Beragam sajian berita politik oleh aksi "aneh" para aktor politik, yang sejatinya orang garis depan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, justru bikin kecewa. Dan kekecewaan itu menghadirkan rasa keindonesiaan yang lain di diri kita. Rasa Indonesia yang "aneh" pula. Tak jarang kita menjadi skeptis dan apatis akan rasa Indonesia lewat celetukan, terlebih di media sosial. Rasa Indonesia itu sebenarnya muncul tanpa disadai namun wujud artikulasinya lain dan bukanlah sebuah kegembiraan akan rasa Indonesia. Salah satu penyebanya adalah tekanan hidup yang berat ditimpa kekecewaan pada situasi negara.
Bendera hanyalah sepotong kain dengan ukuran tertentu. Tapi bendera merah putih memuat makna penting bagi tercipta dan terselenggaranya rasa Indonesia. Inilah yang membedakan porongan kain yang seukuran namun bukan berupa bendera Merah Putih. Bandingkan, bila ada deretan bendera iklan atau apapun yang bukan bendera bangsa kita, apakah akan muncul rasa Indonesia?
Disadari atau tidak, bendera merah putih merupakan salah satu "doktrin" kita bersama sabagai sebuah bangsa. Dokrin tersebut merupakan milik bersama dan diterima dengan penuh kegembiraan. Bendera merah putih itu kemudian menempati posisi terhormat dalam semangat kita sebagai anak bangsa yang satu.
Ketika kita melihat semaraknya kibaran kain merah putih berjejer di tepi jalan yang bertebaran di segala penjuru kota oleh para penjual bendera, maka timbul kembali rasa kegembiran itu. Warna merah dan putih beragam bentuk dan ukuran yang melambai-lambai mampu menstimulasi pikiran kita untuk (kembali) bergembira dan mendapatkan rasa Indonesia.Â
Bagaimana dengan para penjual bendara itu? Mereka adalah kita juga sebagai anak bangsa. Selain tuntutan faktor ekonomi, sejatinya mereka juga punya rasa Indonesia. Bayangkan saja mereka umumnya bukan kali itu saja berjualan, melainkan tahun-tahun sebelumnya telah mereka lakukan. Mereka atur dagangannya sehingga tampak berderet rapi. Hampir tidak ada yang dipasang terbalik! Mereka tahu dan sadar bahwa bendera kita adalah merah dan putih.Â
Kalau anda lewat di ruas jalan yang banyak terpajang jualan bendera Merah Putih, walau mungkin anda tak membeli, janganlah lupa menoleh dan menikmati sensasi rasa Indonesia itu. Sebuah rasa yang mungkin sempat tenggelam oleh kesibukan dan kekecewaan anda beberapa waktu lalu.Â
Para penjual bendera hadir tak semata berjualan, melainkan juga mengingatkan kembali Rasa Indonesia itu untuk kita.
Selamat HUT ke 72 negaraku. Jayalah Indonesia !
----Â
Peb14/08/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H