Ruang FB merupakan ruang maya belantara liar. Disana relatif tak ada aturan pasti yang menandakan sebuah keteraturan suatu "entitas kehidupan". Kalaupun ada "larangan" memasukkan konten porno, hal itu bisa jadi karena adanya "fitur" laporan yang menjadi dasar pengelola Facebook menghapus konten itu, namun tidak bisa secara pasti langsung menghukum si Pemilik akun. Demikian juga halnya tulisan status FB yang nyinyir atau mengandung fitnah dan kebencian terhadap pihak lain.Bila tak ada laporan maka tulisan itu akan tetap bercokol dan si Pemilik akun aman-aman saja.
Di ruang FB tak ada etika dan moralitas baku, yang ada adalah hasrat primitif manusia yang dikomodifikasi dalam kemasan modern di ruang modernitas maya. Adanya 'hukuman' di ruang FB lebih kepada laporan sesama penggiat Facebook, bukan oleh aturan 'hukum' Facebook yang secara otomatis  menghukum si Pemilik akun yang dianggap bersalah. Bila banyak laporan terhadap suatu status FB, maka si Pemilik akun tersebut bisa "dibanned" pengelola FB.
Dengan kedudukan sebagai ruang maya belantara liar itu, maka ruang FB pun jadi ruang "Peniruan" (simulakrum) paling sempurna. Setiap postingan status bisa didapatkan dari berbagai sumber untuk dijadikan milik diri si Empunya akun. Konteks simulakrum/peniruan atas peniruan menjadikan orisinalitas tak bisa lagi didapatkan secara pasti. Kalau saya meniru status FB teman saya, belum tentu status FB teman saya itu hasil pikirannya. Bisa jadi dia pun meniru dari status FB temannya, demikian seterusnya. Hebatnya, begitu status itu sudah bercokol di akun FB saya, maka status itu "murni" milik saya. Toh sudah ada penanda di awal kolom status sebagai tonggak (benchmark) yakni berupa pertanyaan "Apa yang anda pikirkan?"
Sebagai "ruang ekspresi" diri, pemilik bisa meniru apapun se kehendak dirinya. Kalau dia ingin jadi orang bijak di FB, maka jadilah dia peniru kata-kalimat-tulisan para kaum/tokoh  bijak. Selanjutnya si Pemilik akun FB tersebut "jadi orang bijak" di ruang belantara liar maya. Secara 'de facto' dan 'de jure' ala FB itulah ekspresi dirinya di ruang belantara liar maya. Perkara orisinil atau tidak, bukan lagi persoalan-sejauh postingan itu masih bercokol disana. Bahkan sampai si Pemilik akun meninggal pun postingan itu tetap bercokol disana sebagai miliknya. Beuh...serem, euy!Â
Ketika sebuah status "simulakrum" itu kemudian menjadi viral dan menjadikan pemiliknya terkenal bak selebritis, maka Facebook tidak bertanggung jawab terhadap ke-seleb-an si Pemilik akun. Pun si Pemilik akun itu tak perlu membayar royalti tertentu kepada FB setelah dia terkenal. Sama halnya, ketika sebuah status FB tidak viral sama sekali dan si Pemilik akun tak berubah nasibnya.
Status FB yang ditulis panjang yang dipikirkan secara"berdarah-darah" dengan status FB pendek secara  "asoy geboy" kedudukannya sama saja di ruang FB. Ketika sebuah status menjadi viral dan menjadikan pemilik akunnya terkenal hingga masuk televisi, maka dia telah jadi produk bagi masyarakat Tontonan yang haus akan Ikon baru dan haus sensasionalitas. Media mainstream sangat paham situasi itu dan kemudian memanfaatkan momentum kehausan masyarakat untuk kepentingan media tersebut. Lebih lanjut,  si Pemilik akun menjadi bintang di panggung selebritas. Sementara Facebook (FB) tidak ada urusan dengan selebritas si Pemilik akun tersebut.
Kalau saja Afi tidak menjadi terkenal oleh status FBnya dari "hasil pikiran murninya" atau oleh "simulakrum-nya" maka dia sama saja dengan pemilik akun lain yang biasa-biasa saja. Tak akan ada tuntutan atau dugaan apapun padanya, bukan?
Demikian.
-----
Peb, mantan aktivis facebook