Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menulis Artikel Tanpa Beban, Apaan Tuh?

6 Mei 2017   19:22 Diperbarui: 7 Mei 2017   15:04 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis tanpa beban? Emangnya sambil angkat barbel?
Ya, bukan itu. Tapi pun kalau bisa melakukan aktivitas menulis sambil angkat barbel tentu lebih baik lagi. Badan jadi sehat, otak pun makin waras. Heuheuheu...

Kegiatan menulis sering menjadi beban bagi sebagian orang, padahal mengaku suka membaca dan menulis, sering punya ide bagus, memiliki waktu yang cukup namun ketika ditantang untuk menulis ada saja 'halangan' yang 'diciptakan'. Persolannya ada pada diri sendiri, secara tidak sadar menganggap menulis sebagai beban, yakni sesuatu hambatan yang bersifat psikologis.

Faktor beban merupakan persoalan yang relatif besar penghambat keinginan seseorang untuk menulis. Ketika beban itu tak bisa ditangani, maka dia akan sulit memulai aktivitas menulis. Untuk itu perlu kiranya jujur pada diri sendiri dengan mengenali beban apa saja yang penghambat keinginan menulis.

Beban menulis bisa datang dari dalam dan luar diri sendiri yang kemudian mempengaruhi pikiran. Dari pikiran itu timbul ketakutan atau keraguan. Akhirnya tidak jadi menulis.

Mengenali beban dalam diri merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Tak perlu malu untuk mengakui adanya beban karena hal itu merupakan ranah pribadi yang tak perlu orang lain tahu. Jangan kuatir hal tersebut tidak hanya dialami kita sendiri. Setiap orang mungkin juga mengalaminya dengan model beban yang beragam. Secara umum ada beberapa faktor yang mungkin jadi beban yang menghambat dimulainya kegiatan menulis ;

Tidak Percaya Diri

Kepercayaan diri merupakan modal utama untuk memulai aktivitas menulis. Dengan kepercayaan diri maka semua faktor teknis dan non-teknis kepenulisan bisa diatasi. Sebaliknya, bila tidak punya kepercayaan diri, maka kegiatan menulis akan jadi beban tersendiri.

Timbulnya rasa tidak percaya diri bisa dari berbagai faktor, misalnya : Pertama, merasa tidak menguasai masalah atau isue tertentu walau sangat tertarik mengulasnya. Kedua, mengusai masalah tapi takut tulisan yang sudah dibuat dicemooh pembaca.

Untuk memulai menulis memang sebaiknya kita menguasai masalah yang ingin ditulis. Tidak perlu detail, namun setidaknya kita memahami dan punya gambaran umum secara menyeluruh tentang sebuah isue hangat.

Referensi bisa didapatkannya adalah dengan cara membaca banyak referensi dari berbagai sumber terpercaya terkait isue tersebut. Dari situ kemudian ambil satu sudut pandang yang kita kuasai dan bikin 'nyaman' untuk dibuat tulisan. Ini relatif lebih baik daripada ngomel-ngomel tak jelas atau sepotong-sepotong di status facebook atau twitter-kecuali status itu dimaksudkan untuk sekedar bercanda dengan teman-teman dumay.

Ketertarikan pada isuue dan ingin turut berbicara tentang isue tersebut jangan sampai hilang atau dituangkan secara tidak tepat, baik cara penyampaian gagasan maupun medianya. Dengan menuliskan sebuah isue kedalam bentuk sebuah artikel setidaknya didapatkan sebuah pandangan utuh dari sudut pandang yang didukung referensi, dasar argumentasi dan ulasaan yang runtut untuk orang lain pahami.

Ketidakpercayaan diri karena takut dicemooh walau menguasai masalah juga sering timbul dan menjadi beban. Ada banyak faktor takut dicemooh, misalnya kurang menguasia teknik kepenulisan yang benar apalagi bila issue tersebut lumayan kompleks.

Ketidak percayaan diri tiap orang tentu tidak mudah dihilangkan. Semua kembali pada setting diri si penulis, apakah sifatnya bersumbu pendek atau panjang, maksudnya mudah tersinggung atau tidak. Kalau berangkat dari pemikiran 'menulis adalah proses belajar yang terus menerus' maka bolehlah kita tak perduli apa kata orang (pembaca). Toh ini sebuah proses belajar.

Segala cemooh bisa saja diabaikan, atau ditanggapi dengan bercanda. Kita akan rugi bila beban takut dicemooh kemudian menghambat proses belajar kita. Orang lain (pembaca) mungkin habis mencemooh kemudian lupa atau berlalu begitu saja, sementara kita tidak beranjak dari ketakutan dan kehilangan kesempatan belajar.

Meletakkan Standar Terlalu Tinggi

Setiap orang tentu ingin tulisannya terlihat baik, memiliki standar tertentu yang bikin orang lain nyaman membacanya. Di sisi lain kita melihat beragam tulisan bagus dari para penulis hebat. Teknik kepenulisannya baik, gagasan yang hebat, banyak penggemar, pandai mengemas issue, dan lain sebagainya. Secara tidak langsung semua itu menjadi rujukan kita untuk berkarya. Terciptalah parameter atau standar tertentu yang relatif tinggi di dalam diri.

Disisi lain, parameter itu diperlukan demi kualitas tulisan, namun di sisi lain bikin frustrasi karena 'kemampuan' kita belum bisa seperti penulis hebat tersebut. Rasa frustrasi iini mengakibatkan kita malas memulai aktivita menulis. Atau, sudah aktivitas sudah berjalan namun terhenti di tengah jalan karena tidak puas dengan apa yang dibuat. Hal ini sangat disayangkan, bukan? Untuk mengatasinya, sebaiknya kita rela menerima kenyataan bahwa tulisan kita 'belum' bisa menyamai para penulis hebat tersebut. Tak perlu malu. Tak usah ambil pusing.

Setiap tulisan yang kita buat merupakan sebuah proses pembelajaran untuk tulisan berikutnya agar lebih baik. Untuk jadi seperti penulis hebat itu perlu tahapan pembelajaran. Dulu tulisan mereka pun. "tidak hebat-hebat amat". Dengan berjalannya waktu dan intensitas menulis, maka jadilah mereka seperti itu. Jadi, yang penting bagi kita adalaj standar tinggi dalam menulis jangan sampai jadi beban.

Takut Berbeda Pandangan dengan Kawan

Menulis artikel merupakan penyampaian sudut pandang tentang suatu issue. Ketika setiap orang punya sudut pandangnya sendiri yang relatif maka disitulah timbul beda pandangan-tak terkecuali dengan teman dekat sekalipun !

Persoalan takut beda pandangan sebaiknya ditiadakan. Lagi-lagi kita perlu bersikap 'cuek', 'tak perduli' dengan orang lain atau kawan sekalipun. Toh mereka juga tak perduli dengan pandangan-pandangan temannya yang lain, bukan?

Jangan sampai takut berbeda atau berlawanan dengan pandangan kawan membuat kita tak maju. Beda pandangan dalam gagasan dan tulisan bila dikemas dengan kata-kata sopan, runtut dan jelas akan membuat perbedaan itu menyenangkan dan jadii kekayaan referensi banyak orang. Kita telah berkontribusi di kekayaan itu.

Artikel ini ditulis berawal dari adanya beban kalau tidak ditulis akan terus jadi beban, namun setelah ditulis, tak lagi menjadi beban. Legaaaa. Heu heu heu...

-----

Peb6/5/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun