Hari buruh diperingati tiap 1 Mei. Satu hal yang hampir pasti sebelum hari peringatan tersebut adalah demo besart-besaran para buruh. Jumlah buruh yang turun ke jalan mencapai ribuan orang.
Demonstrasi ada tujuannya. Tentulah terkait kepentingan nasib buruh itu sendiri agar kehidupannya lebih baik. Tahun tuntutan demo buruh mengangkat isu yang disebut HOSJATUM, yakni:
1. Hapus outsourcing dan pemagangan
2. Jaminan sosial direvisi, yaitu jaminan gratis seluruh rakyat dan jaminan pensiun buruh sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 60 persen dari gaji terakhir
3. Tolak upah murah dengan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Alasan disuarakannya tuntutan tersebut adalah kesejahteraan dan perlindungan terhadap buruh menurun drastis dalam dua tahun terakhir.
Melihat setiap tahun di hari Buruh timbul pertanyaan, mengapa selalu diisi dengan demo? Kalau setiap tahun dilakukan demo, apakah berarti demo besar tahun sebelumnya (masih) gagal mencapai tujuan? Apakah tidak ada cara lain mencapai tujuan sehingga di tahun berikutnya tidak perlu lagi melakukan demo?
Bila berangkat dari pemikiran bahwa pengulangan cara secara terus menerus tanpa menghasilkan maka perlu dipikirkan cara atau strategi lain agar didapatkan hasilnya.
Nasib buruh ditentukan beberapa faktor, yakni ; kinerja buruh itu sendiri sebagai faktor internal, kemudian faktor eksternal yakni sistem diluar kelompoknya. Sistem itu menyangkut banyak hal, seperti aturan internal tempat buruh bekerja, regulasi atau peraturan yang berlaku secara regional dan nasional, kepentingan politik, situasi perekonomian nasional dan dunia, dan lain sebagainya. Kalau dirinci dan dipetakan akan menghasilkan banyak faktor internal dan eksternal yang saling terkait dan membentuk benang kusut yang menyebabkan isu buruh tidak belum sejahtera sampai kapan pun.
Pertanyaannya adalah, untuk mengurai benang kusut apakah harus dengan demo?
Bila melihat aksi demo dengan beragan tuntutan yang dilakukan, nampaknya lebih kepada faktor-faktor eksternal. Lalu bagaimana faktor internal dirumuskan untuk disampaikan sebagai solusi bersama? Ini yang tampaknya belum mengemuka di masyarakat. Hal yang tersaji dalam demo adalah gambaran buruh yang terzolimi oleh sistem (eksternal). Belum banyak klausul internal buruh itu sendiri terhadap faktor eksternal yang terzolimi oleh situasi. Atau apakah faktor eksternal sebenarnya tak berdaya oleh internal buruh itu sendiri sehingga faktor eksternal tak berdaya mensejahterakan buruh?
Dalam sebuah relasi intensif antar buruh sebagai entitas tersendiri, antar buruh dengan regulator, antara regulator dengan sutuasi lebih luas lainnya tentu saling mempengaruhi. Keterpengaruhan itu akan mencapai titik imbang bila setiap faktor tidak saling "menzolimi" satu dengan yang lain. Artinya, detiap faktor menjalankan fungsi masing-masing secara benar.
Titik temu pemikiran tidak akan pernah didapatkan bila salah satu bagian siatem tidak berdiri setara. Ketika pengusaha sebagai pemakai jasa buruh ditempatkan pada posisi setara terhadap peraturan dan penerapannya, maka kembali kepada buruh itu sendiri apakah juga bersikap setara terhadap pengusahan dan peraturan tersebut?
Tampaknya memang agak rumit namun bukan tidak mungkin. Banyak contoh di negara lain nasib buruh sejahtera tanpa gejolak demo tahunan. Semoga selalu ada pemecahannya selain dengan cara aksi demontrasi besar-besaran setiap tahun di hari peringatan. Karena sejatinya hari peringatan merupakan petanda pengakuan sebuah Eksistensi di tengah lingkungan yang lebih luas. Kalau sudah eksis kiranya tak perlu selalu dirayakan dengan demontrasi besar-besaran.
Selamat Hari Buruh. Semoga Buruh selalu eksis di kehidupan bangsa ini.
-----
Peb/01/05/2017
Â
Referensi berita ; Satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H