Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hilangnya Peran Suci "Move on" di Entitas Politik

27 April 2017   08:07 Diperbarui: 28 April 2017   10:00 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemakaian 'move on' di ruang putus cinta berbeda dengan ruang politik, khususnya kaum masyarakat pendukung politik. Di ruang putus cinta, kedua pihak sama-sama terpuruk. Move digunakan pendukung (teman) untuk menguatkan si terpuruk. Oleh para teman, penggunaan 'move on' tidak ditujukan 'menyerang' mantan kekasih teman. Disini bisa dikatakan bahwa azas move-on relatif positif.

Sementara di ruang politik, move on seringkali digunakan kelompok pendukung si menang untuk 'membully' si kalah disaat si kalah itu sedang berusaha 'move on'. Bisa juga terjadi, saat si kalah tidak bisa move on kemudian melakukan kritik terhadap si menang. Oleh si menang, pihak yang kalah tersebut dianggap 'gagal move on'. Yang terjadi kemudian kedua pihak menggunakan kata move on untuk saling menyerang. Sementara itu, satu hal yang bisa 'menyatukan' mereka adalah pada frasa 'Haters dan Nyinyir'. Setiap pihak melabelkan lawannya dengan kata Haters, sedangka Kritik dianggap sikap Nyinyir.

Diantara move on dan gagal move on ada pihak ketiga yakni 'Haters' dan 'Nginyir. Pihak ketiga inilah yang 'ngomporin' kondisi move on dan gagal move on. Akibatnya, posisi dan peran move on bukan lagi sebuat spirit internal kelompok untuk bangkit dari keterpurukan (kala-menang), melainkan menjadi alat serang. Uniknya, dengan keberadaan Haters dan Nginyir itu si menang tak beda dengan si kalah. Sikap nyinyirnya membuat si menang itu tak beda dengan si kalah, yakni bersikap 'gagal move on'. Heuheuheu...!

Simak saja sejumlah pernyataan saling serang-sindir di media sosial terkait urusan pilpres atau pilkada. Mungkin sudah nasib, si kalah terpuruk masih juga dibully. Kedua pihak, yakni si Kalah dan si Menang kemudian tak henti berkompetisi saling membully. Pertanyaan kemudian muncul. Kenapa hal itu bisa terjadi?

Dunia virtual (maya) menghasilkan banyak identitas diri seseorang. Bisa jadi identitas itu lahir dari sisi baik dan sisi buruk. Identitas itu merupakn wujud 'kepribadian lain' dari suatu personal. Contohnya ; bila di dunia nyata seseorang itu tampak intelek, santun, tertib, ramah, toleran, namun di dunia maya dia bisa jadi sebaliknya. Seringkali sikapnya tersebut tidak disangka-sangka orang lain yang mengenalnya di dunia nyata. Kenapa demikian? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut.

Kebebasan Dunia Maya dan Turunannya

Dunia maya (virtual) memberikan kebebasa yang lebih luas bagi seseorang untuk berekspresi. Tidak ada batasan langsung baginya untuk menuangkan segala unek-unek (emosi). Kebebasan itu mampu membangunkan sifat-sifat primitif seorang manusia untuk bertindak bar-bar di dunia maya (ruang virtual). Uniknya, hal itu justru menjadi sebuah kesenangan tersendiri baginya, bisa jadi ada kepuasan atau kelegaan bisa bebas dari norma, etika, aturan, dan segala batasan di dunia nyata yang dirasa menghimpitnya.

Segala batasan di dunia nyata itu mempengaruhi keberanian berekspresi terhadap orang lain yang dituju. Ada rasa tidak enak atau takut berhadapan langsung namun di belakang (dunia maya) cenderung lebih berani karena tak perlu memikirkan hal tersebut. Keberanian itu sifatnya palsu belaka. Sikap ini menunjukkan sifat hipokrit.

Dasyatnya pengaruh dunia politik mampu mempengaruhi seseorang menjadi militan terhadap pilihan politiknya. Dengan adanya ruang virtual (maya) yang bebas dan sifat hipokrit itulah terjadi saling serang 'semau gue'. "Toh tidak bertemu langsung dengan lawan". Disini persaingan politis si kalah dan si menang ajang bully jadi arena yang dianggap mampu memuaskan syahwat politis. Konteks peran istilah 'move on' pun jadi rancu setelah masuk ke kancah politis.

Sangat sulit menghentikan arena bully itu. Setiap orang punya tingkat kesadaran, tujuan, maksud, agenda dan lain sebagainya saat berada di dunia maya. Tapi hal itu bukan tidak mungkin dilakukan. Salah satu caranya adalah teladan dari para aktor atau elit politik untuk mau menampilkan cara berpolitik yang sejuk, santun dan beretika karena merekalah yang jadi rujukan, contoh, tauladan, atau patron masyarakat awam (netizen) dalam bersikap di dunia maya.

Begitulah nasib 'move on' di entitas politik dalam ruang virtual. Pakai celana atau tidak, 'move on' tampak selalu sexy untuk dijadikan alat bully. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun