Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pelangi Terjepit Kursi

14 April 2017   15:47 Diperbarui: 15 April 2017   08:00 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih kuingat cerita masa kecil.
Ayah berkata, "pelangi itu cahaya suci yang lahir dari hamparan air. Tahukah kau aneka mahluk berdiam di dalamnya?" Aku mengangguk, walau tak sepenuhnya mengerti.

Ibuku cerita, "di dalam pelangi ada dewa-dewi. Mereka hidup rukun membangun keindahan mimpi. Dalam pelangi ada cinta, seperti cinta ibu pada ayah, dan cinta kami padamu". Aku terbuai. Ingin kubangun hal serupa bila kelak sudah dewasa.

Guruku ajarkan, pelangi indah bukan karena satu tapi oleh aneka spektrum warna. Mereka berandengan beri inspirasi manusia. Kuingat seruannya "kalian adalah pelangi bagi inspirasi kehidupan sekarang dan masa depan".

Awalnya tak kumengerti, tapi saat berkumpul di lapangan upacara kutatap satu persatu kawanku. Satu pun tak ada yang sama. Baru kupahami mereka lah spektrum itu. Dalam hati tersemai janji bila kelak dewasa ingin kubangun indah negeri bersama mereka.

Kini aku sudah besar.
Hari ini kulihat banyak orang. Aneka rupa wajah dan bahasa tubuh. Sempat terlintas cerita masa kecil, mereka adalah spektrum warna pelangi, seperti kata guruku.

Kuperhatikan lagi, tiba-tiba sekelompok orang itu berteriak ingin hancurkan pelangi. Begitu nyaring, serasa pecahkan gendang telinga.

Pelangi menatapku sendu. Wajahnya pucat. Dia menangis. Ingin kutolong. Segera aku merayap diantara kerumunan.

Saat tiba diujung cakrawala kudapati kaki pelangi luka menganga terjepit kursi megah. Disitu sejumlah orang berebut duduk. Ragam makian dan hujatan antar mereka menggema. Pekiknya runtuhkan nyali dewasa.

Aku gemetaran, takut kehilangan memori masa kecil.

Doa kupanjatkan. Semoga mereka segera sadar. Aku masih yakin mereka sama seperti aku punya masa kecil, ayah, ibu, dan guru yang pernah bercerita tentang indahnya pelangi.

-----

Peb/15/04/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun