Artikel ini saya tulis setelah dapat ‘Ide' dari pertanyaan klasik Facebook; “Apa yang anda pikirkan?”.
Mungkin sebelum mendirikan facebook, Mark Zuckerberg sudah paham medan tempur ‘tukang omong’ dan ‘tukang tulis’. Jadi, dia ingin pertemukan keduanya di facebook.
Menulis bukan pekerjaan gampang, namun juga bukan sesuatu yang sulit. Kata orang gaul; "mudah-mudah sulit". Istilah ‘mudah-mudah sulit’ tidak ada dalam khasanah bahasa Indonesia resmi tulisan. Bila mengacu pada standar kepenulisan akademis, maka istilah tersebut dianggap salah. Bagaimana bisa didapatkan satu makna 'frasa kalimat' dari sebuah istilah dibentuk dari kata saling bertolak belakang?
Kata ‘mudah’ memiliki makna tersendiri yang jelas dan terukur. Demikian juga frasa ‘sulit’ juga memilikinya. Makna keduanya berbeda makna secara ekstrim. Secara akademik kedua kata itu tidak bisa dikawinkan untuk dapatkan ‘keturunan makna’ baru.
Namun jangan kuatir, pada tatanan non-akademis, istilah ‘mudah-mudah sulit’ bisa 'kawin dan berbahagia'. Keduanya mampu ‘membentuk keluarga’ baru dan dapat tempat layak sebagai bagian dari ‘menjelaskan sesuatu’. Istilah tersebut dimasukkan kategori keluarga ‘idiom’.
Idiom bisa dibentuk dari kata-kata yang tak lazim digabungkan. Dari perspektif akademis, hasilnya berupa kalimat yang terkadang tampak aneh, lucu dan menggemaskan. Idiom itu dapat menjelaskan sesuatu yang dapat dimengerti oleh orang yang mendengar atau membacanya. Orang yang berkecimpung dalam dunia ilmiah pun sering memakainya dalam bahasa lisan untuk menjelaskan sesuatu yang ilmiah. Tujuannya agar mempermudah pemahaman pemirsa. Itulah hebatnya Bahasa Indonesia, kaya dan lentur.
Banyak orang ketika melihat sebuah tulisan, misalnya tulisan pendek, kemudian menganggap si Penulis mengerjakannya dengan mudah. Pembaca tulisan itu mungkin tidak tahu bahwa si Penulis harus berjuang keras saat 'menciptakan' tulisannya. Dia harus 'bersusah payah' mentransfer apa yang dipikirkan (ide-yang bersifat abstrak) kedalam susunan kata (kalimat) agar pemikirannya menjadi sebuah pesan yang bisa dipahami pembaca sesuai keinginannya sebagai Penulis, dan bukan keinginan si Pembaca.
Sebenarnya tidak ada batas yang jelas antara fase menemukan/memilih kata dengan meramu diksi. Kedua fase ini saling terkait dalam satu masa pembuatan tulisan.
Proses menulis kalau bandingkan dengan orang berbicara akan terlihat unik. Jangan heran bila orang yang 'banyak cakap' alias 'tukang ngomong' ternyata belum tentu mudah menulis secara benar apa yang dipikirkannya. Padahal kalau dilihat dari kecepatan dia bicara, seolah semua kata sudah dimilikinya dan akan gampang diungkapkan dalam bentuk tulisan yang benar.
Beda ‘Tukang Omong (pembicara)’ dengan ‘Tukang Tulis (penulis)’adalah pada medan tempur atau medan perang. Dalam medan perang si ‘Orang Banyak Cakap’ tertumpu pada keberanian (psikologis) berbicara secara ‘real time’ (saat itu juga). Pembicara yang memiliki ide bagus, menguasai masalah dan punya banyak perbendaharaan kata akan hilang percuma kalau secara mental sudah 'ciut' duluan di hadapan pendengar. Hal ini seperti itu tidak dihadapi seorang Penulis. Medan tempur penulis adalah menemukan/mencari kata dan memilih kata, dan tidak realtime. Dia bisa melakukannya dalam waktu yang relatif lama dan berulang.