Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gubernur Idola dan Uang Masa Lalu

18 Maret 2017   14:30 Diperbarui: 19 Maret 2017   00:00 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Betuuul den...saya ndak bohong....mereka sudah cerdas memahami politik. Buktinya mereka sangat sayang dengan den Bagas yang telah mampu membangun daerah kita. Banyak kemajuan yang dicapai sejak pemerintahan den Bagas. Saya turut bangga atas keberhasilan den Bagas bangun daerah” kita ini.” Begitu pak Slamet ngerocos penuh optimis. Dia tulus mengatakan itu.

“Apakah pak Slamet percaya dengan berita koran itu?” tanya Bagaskara. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu perlu.

“Yoooo....ndak percaya, dong Den. Lha..Saya kan sudah mengenal Den Bagas luar-dalam sejak masih kecil. Tahu bagaimana Ayah Den Bagas mendidik anak-anaknya. Keseharian ayah Den Bagas itu memberi contoh nyata. Dia baik pada semua orang. Jujur dan tidak rakus harta. Lha kalau beliau mau lebih kaya raya sudah dari dulu, Den. Tapi banyak nilai-nilai yang jadi prinsipnya justru bikin ndak kaya” pak Slamet ‘ngerocos’ dengan penuh semangat.

“Mmmmhhh...begitukah, pak?”

“Den, saya ikut Den Bagas meniti karier ini kan sudah lama. Kalau Den Bagas orang nakal, sudah sejak lama kaya raya. Tapi karena idealis, den Bagas ya...gini ini. Sekarang aja jadi gubernur malah ndak kaya-kaya karena lebih mentingkan rakyat. Bandingkan dengan gubernur atau bahkan bupati di daerah lain. Mereka jauh lebih kaya, lho”. Celoteh Pak Slamet, masih dengan semangat 45-nya.

Bagaskara kembali tercenung mendengar celoteh Pak Slamet . Dipandanginya jalan lurus di depan. Terasa seperti ada tembok penahan di kerongkongannya ketika akan bicara sesuatu.

Ingatannya kembali ke masa 12 tahun silam saat masih di parlemen pusat. Dibandingkan anggota parlemen lainnya, kehidupan Bagaskara memang lebih sederhana. Dia hidup dari gaji sebagai anggota DPR Pusat. Tidak ‘mroyek’, tidak jadi calo anggaran dan seabrek ‘usaha’ sampingan seperti yang dilakukan sejumlah koleganya. Baginya kepentingan rakyat hal utama. Idealismenya LSM-nya masih lekat hingga dia sampai di gedung parlemen. Ke kantor pun dia hanya pakai ‘mobil sejuta umat’ yang didapat dari fasilitas cicilan dengan cara potongan gaji sebagai anggota DPR. Mobil itu masih ada dan saat ini dia pakai bersama pak Slamet.

Satu hal yang jadi cita-citanya lamanya adalah jadi pemimpin wilayah, apakah bupati atau gubernur. Dia ingin bisa berbuat banyak bagi masyarakat. Itu hal yang tertanam dibenaknya sejak masih bujangan dan melek politik. kalau hanya di lingkup LSM rasanya terbatas.

Saat pembahasan anggaran proyek 6 trilyun itu. Dia diposisi sebagai anggota biasa, dan melihat proyek itu bagus dan memang diperlukan rakyat negeri ini. Pembahasannya cukup alot, melibatkan sejumlah pimpinan dan jajaran lembaga negara terkait. Sifat resmi rapat dan pengambilan keputusan itu jadi pegangan Bagaskara dalam menjalani semua dengan pikiran positif.

Sampailah ada suatu peristiwa ketika kolega sesama Anggota DPR membagikan dafar penerima uang. Bagaskara di-plot menerima 15 Milyar. Koleganya katakan ini uang resmi, semua peserta rapat baik di parlemen dan diluar menerimanya. Dilihatnya dalam daftar itu, dibandingkan koleganya yang lain, jumlah 15 M termasuk kecil. Tapi bukan itu yang membuatnya kaget.

Sebenarnya Bagaskara ragu. Bahkan sangat ragu menerimanya mengingat uang itu begitu besar dan aneh. Namun dalam pembicaraan dengan koleganya itu meyakinkan legalitas dan amannya uang itu. Terlebih sejumlah pimpinan lembaga pemerintah dan pimpinan dan pengurus partai sudang mengamininya. Inilah titik dimana keraguan Bagaskara perlahan hilang. Dengan jumlah uang itu dia jadi ingat cita-cita lamanya untuk jadi gubernur. Ini bisa jadi modal dia meraihnya. Dengan uang itu bisa jadi modal operasionalnya dalam pilkada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun