Sementara di dalam dirinya sendiri peperangan batin tak kalah hebatnya. Dia ingin menjalani dan melakukan sesuatu seturut kata hati, kepribadian, pemikiran besar dan segala kediriannya, tapi begitu sulit baginya mengartikulasikannya secara verbal.
Kenapa demikian?
Karena tidak ada ruang dialog bagi dirinya yang bisa menjadi media komunikasi verbal tersebut. Ruang dirinya adalah kosmologi bagi dirinya, tak ada orang yang masuk dan menjadi dirinya di ruang itu untuk menjabarkan perkelahian batinnya. Dia menjadi tak terbaca secara utuh!
Ketika semua prakiraan sudah dibuat para pengamat dengan versinya masing-masing. Lalu bagaimana mengetahui keinginan politis AHY terkait kedua kompetitornya, dan keberlanjutan pilgub DKI?
Perlu adanya pendekatan etnologis pribadi (deep interview) dari orang yang berani masuk ke ruang pribadinya, tidak menjadikannya obyek semata, namun orang tersebut menjadi AHY! Masih ada cuku waktu hal itu dilakukan jelang putaran kedua Pilgub DKI.
Namun jangan heran bila ternyata terungkap bahwa AHY ingin merapat ke Ahok/Djarot bukan karena semata demi memenangkan Ahok/Djarot, namun karena jiwa ksatrianya dia ingin memutus dendam pribadi Ayahnya pada Megawati. Menghapus dendam pribadi pimpinan yang menjadi dendam partai. Dia ingin membangun persaingan politik masa depan, politik yang dipegang jiwa muda yang indpenden, ksatria, dan tangguh berlandaskan jiwa-jiwa sportivitas. Dia lakukan itu semua demi Indonesia yang lebih baik dimasa depan. Lalu, apa ambisi pribadinya sebagai mahluk politik? Dia percaya bahwa semua yang dipikirkannya itu adalah investasi politik bagi karier politiknya ke depan, bukan bagi ayah, keluarga, atau partai sekalipun!
------
Peb/20peb2017
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H