"Paa..tu’ ! Paaaa...tuu’! Paaaaa...tuuu’! Spaaaatuu’!" Begitulah suara orang yang awalnya samar-samar kemudian semakin jelas terdengar.
Saat itu saya sedang asik nonton berita di televisi dengan kawan sambil ngobrol terkait banyak hal di negeri ini. Karena suara “patu’ tadi, saya meninggalkannya untuk bergegas ke pintu utama, membukanya kemudian keluar. Saya clingak-clinguk mencari arah suara. Tampak seorang bapak tua dengan pikulannya berjalan menjauh dari rumah saya. Orang itu pun saya panggil. "Paatuu!"
Singkat kata, Si Bapak sudah ada di teras rumah saya. Kami pun ‘bertransaksi’. Saya kemudian masuk kerumah sebentar untuk mengambil dua pasang sepatu dan memberikan kepada bapak tua tadi. Penampilan Si Bapak sangat bersahaja, bahkan mendekati lusuh. Baju seadanya dengan topi yang tak jelas lagi warnanya. Badannya kurus. Kulitnya gelap dan mengilat karena terik matahari. Dua kotak kayu ukuran kardus mie instan dan pikulan dari bambu tampak menyatu dengan seluruh penampilannya itu.
Dia kemudian duduk di kotak kayu tersebut dan mulai bekerja di teras rumah. Saya temani sebentar dan ngobrol dengan Si Bapak. Dia bicara sambil bekerja.
Saya jadi tahu rumahnya cukup jauh dari tempat saya. Dia tinggal bersama istri, dua anaknya yang masih sekolah SMA, serta dengan dua orang cucunya. Orang tua cucunya adalah anak perempuan tertua dari Si Bapak. Namun tidak tinggal dengan mereka karena ‘pergi entah ke mana' setelah bercerai dengan suaminya. Banyak lagi yang saya ketahui tentang Si Bapak, termasuk soal pendapatannya perhari. Terbayang ‘susahnya’ hidup Si Bapak. Setiap hari jalan kaki dari rumahnya, disengat matahari demi menafkahi keluarganya.
Saya kemudian pamit dengan Si Bapak yang tetap bekerja karena ingat ada kawan di dalam rumah. Setelah di dalam rumah, teman saya itu bertanya; “Ada apa sih di luar, Peb?” Saya jelaskan tadi memanggil tukang sol sepatu keliling yang lewat depan rumah. Dua pasang sepatu saya sedang bermasalah. Salah satu sepatu ada yang alas karet busa dalamnya hilang ketika sepatu dijemur sehabis dicuci. Mungkin hilangnya tertiup angin. Yang satu pasang lagi alas dalamnya sudah kurang nyaman dipakai. Jadi mau tidak mau keempat alas busa dalamnya harus diganti.
“Berapa semua harganya?” tanya kawan saya itu.
“Lima puluh ribu” jawab saya.
“Haaah! Mahal amat! Emangnya tidak ente tawar?”
“lhaa...ndak tuh”
“Mahal itu bro, ente kena tipu. Harganya tidak segitu. Paling mahal 25ribu. Harusnya ditawar dulu.”