Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati Nurani dalam Belantara Keras Pilkada

13 Februari 2017   04:08 Diperbarui: 13 Februari 2017   09:33 1485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: thefree3dmodels.com

Sebuah pesan : “Pilihlah sesuai panggilan hati nurani” sering didengungkan kepada masyarakat saat pemilu akan berlangsung. Tentunya ditujukan kepada orang yang punya hak pilih untuk memilih calon pemimpin, baik nasional maupun daerahnya. Pesan itu ingin mengingatkan masyarakat pemilih untuk memakai Hati Nurani sebagai pemandu dalam mengambil keputusannya di bilik suara.

Hati nurani bersifat individu, dan merupakan hak setiap orang dengan dirinya sendiri. Otoritas hati nurani mutlak pada setiap individu itu sendiri. Di dalam hati nurani ada pesan moral, yang menyatu dalam setiap individu manusia. Konsekuensi keberadaannya dalam moral adalah si manusia mengalami penderitaan mental dan rasa bersalah bila menentangnya. Sebaliknya si manusia menjadi damai dan senang bila tindakan, pikiran dan perkataan sesuai dengan nilai yang manusia tersebut anut. Hati nurani bereaksi saat tindakan, perbuatan dan perkataan seseorang sesuai, atau bertentangan dengan, sebuah standar mengenai benar dan salah.

Hati nurani memuat tiga konsep kebenaran utama, yakni :

Pertama, hati nurani merupakan karunia Tuhan kepada manusia untuk mengevalusi dirinya. Segala pikiran, perkataan, dan perbuatan sejatinya sesuai dengan sistem nilai dan moral yang dianut oleh seorang individu. Standar tertinggi yang digunakan adalah standar Tuhan. 

Kedua, hati nurani merupakan saksi atas sesuatu, yakni kehadiran hukum Tuhan yang tertulis dalam hati setiap individu. Hati nurani menjadi saksi atas kebenaran dan ketulusan seorang dalam berelasi dengan orang lain.

Ketiga, hati nurani merupakan pelayan dari sistem nilai seseorang. Sistem nilai yang tidak matang atau goyah akan menghasilkan hati nurani yang lemah. Sementara sistem nilai yang beradab akan menghasilkan pendirian yang kuat mengenai yang benar dan salah. Sebaliknya sistem yan tidak berada menghasilkan pendirian yang lemah.

Hati nurani yang lemah bila mendapatkan informasi-informasi yang keliru memunculkan prasangka, ketakutan dan kebencian. Itulah perlunya seorang individu memiliki pemahaman yang matang akan nilai-nilai (kebenaran). Di sisi lain, seorang yang memiliki pemahaman nilai yang kuat atau hati nurani yang kokoh sejatinya bisa bertindak bijak agar tidak menyebabkan orang lemah menjadi marah; prasangka, ketakutan dan timbul kebencian sebab ketidaktahuannya atau karena kelemahannya tersebut.

Ilustrasi Pilkada Serentak 2017 | Foto: Istimewa/http://kedaipena.com
Ilustrasi Pilkada Serentak 2017 | Foto: Istimewa/http://kedaipena.com
Pilkada yang Tak Bebas Nilai dan Keberadaan Hati Nurani

Realitas Pilkada memuat dinamika politik yang tidak bebas nilai. Ada nilai-nilai lain yang ‘masuk’ kedalam Pilkada oleh beragam kepentingan pragmatis, kemudian dipahami masyarakat dan menjadi realitas politik di dalam masyarakat itu sendiri. Faktor tujuan pragmatis-politis menjadi salah satu faktor pilkada yang sudah diatur kebenarannya oleh undang-undang (kenegaraan) kemudian menjadi tidak bebas nilai.

Berbeda dengan adigium di ilmu pengetahuan. Bebas nilai menjadi tuntutan ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Itulah mengapa “Teori Darwin” tak bisa dicampur adukan dengan Keyakinan akan “Adam dan Hawa’ dalam wacana munculnya manusia di muka bumi ini.

Seorang calon pemilih berada dalam situasi sulit ketika harus memilih. Begitu banyak faktor yang dia dapatkan dan alami dalam konstelasi politik. Beragam arus informasi, situasi dan kondisi sosial lingkungan si pemilih, tekanan politis baik langsung maupun tidak langsung, serta faktor-faktor lainnya menjadikan dirinya harus berkelahi dengan hati nurani yang menuntut kebenaran sejati.

Beragam arus informasi terkait Pilkada bertebaran tanpa henti di tengah masyarakat. Antara kebenaran dan kejahatan bercampur di atas panggung dan jadi realitas “tontonan dan tuntunan” dalam masyarakat. Hal ini bisa membuat individu yang nuraninya lemah akhirnya dilayani oleh hati nurani yang lemah setelah disusupi informasi yang keliru. Dia akhirnya memilih pemimpin karena prasangka, ketakutan dan timbul kebencian terhadap calon lain, bukan pada kebenaran yang ditawarkan si calon pempimpin demi kehidupan bersama yang lebih baik.

Pelaku politik yang pintar namun culas mampu membentuk dan menyebarkan informasi ‘kebenaran palsu’ secara sistematis untuk menjadi ‘pelayan’ para pemilih yang hati nuraninya lemah. Dengan sigap pelayanan itu diterimanya dalam memilih calon pemimpinnya di bilik suara. Pada tatanan proses Pilkada sendiri, seringkali sebuah arus politik membentuk dan menjadikan seorang individu atau kelompok-kelompok manusia melakukan kejahatan undang-undang dan aturan pilkada. Padahal sangat jelas hal itu jauh dari nilai-nilai kebenaran. Apakah kegiatan atau perilaku para individu atau kelompok tersebut bertentangan dengan hati nuraninya? Bisa saja terjadi pertentangan hati nuraninya yang bertugas sebagai saksi atas kebenaran dan ketulusan yang pernah dia terima sebelumnya. Hal ini tak dapat dilihat orang lain. Hanya si Individu itu saja yang tahu dan merasakannya.

Tanggal 15 Pebruari nanti, yakni sehari setelah Hari Kasih Sayang, sebanyak 101 daerah di seluruh Indonesia akan melakukan Pilkada serentak. Pada hari itu banyak orang yang ‘bertarung’ dengan hati nuraninya menuju bilik suara untuk memilih pemimpin daerahnya. Mereka adalah individu yang mengalami penderitaan mental paling sulit dan rasa bersalah bila menentang hati nuraninya. Bagi yang mau mengikuti hati nuraninya akan mengamali rasa senang dan damai. Bagaimana dengan individu yang hati nuraninya lemah? Hanya mereka yang bisa merasakannya. Secara teori, pertentangan itu tidak akan selesai setelah mencoblos. Artinya tak henti dia dikejar rasa bersalah manakala kelak mengetahui nilai-nilai atau informasi yang sebelumnya dia terima dan yakini ternyata keliru.

Lalu apa hubungannya dengan hari kasih sayang sehari sebelum pilkada? Pssssst...ini rahasia ya, jangan kasi tau KPU atau Panwaslu, nanti aku tersipu malu...Barangkali aura Cinta dari hari kasih sayang itu bisa membangunkan kebenaran pada hati yang nuraninya lemah tadi. Bukankah rasa Cinta itu tak pernah bohong? Ini barangkali, lho ya....jangan serius amat, aaghh! Maluuu aku...

Salam sayang dan selamat memilih

------

Peb/13peb2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun