Saat berada di ruang politik praktis, sebuah aforisme politis menawarkan satu konsep pemenangan kepada publik sekaligus menyatukan kelompok politis yang berafiliasi dengan si si Tokoh pembuat pernyataan. Pada ‘aforisme’ Anies, setiap orang 'boleh' menerjemahkan arti dan arah pernyataannya sebagai informasi atau 'provokasi' diri untuk menambah kepercayaan memilih Anies, atau tidak memilih gubernur petahana pada Pilgub DKI2017.
Penggunaan Aforisme dalam politik itu biasa. Aforisme mampu membuat solid suatu kelompok politik dalam perjuangannya untuk mencapai tujuan politis.
Aforisme Anies tersebut sah-sah saja untuk memperkuat daya politisnya pada kompetisi Pilgub DKI. Namun ada hal yang dilupakan oleh Anies bahwa publik politik tidak melihat hanya sebuah Aforisme, namun mereka melihat sosok Anies sebagai bagian tak terpisahkan dari Aforisme itu sendiri. Aforisme itu seolah menyatu dalam sosok Anies.
Ketika Blunder ‘Aforisme Kebablasan’ menjadi Bumerang
Untuk memperkuat diri sendiri dan kelompoknya, Anies telah membawa aforisme sepakbola ke ruang politiknya. Dia masukkan ke dalam perjuangannya untuk meraih kursi DKI I. Aforisme sepakbola itu sebenarnya tidak terlalu cocok digunakan pada politik karena bisa menjadi bumerang bagi Anies. Harusnya sebuah aforisme tidak memuat potensi bumerang bagi diri sendiri. Terlebih hal itu keluar dari mulut Anies sendiri.
Dalam suatu tim politik (tim sukses)biasanya terdapat kelompok-kelompok lapisan perjuangan. Ada tim yang khusus membuat provokasi, ada tim pembuat kampanye hitam, ada tim pencitraan si tokoh, ada tim lawak dan lain sebagainya. Setiap tim bekerja sesuai nama kelompoknya yang kesemuanya itu berafiliasi kesi tokoh politik. Sebisanya si tokoh yang akan maju pilkada tidak mengeluarkan pernyataan ‘aforisme’ yang bisa jadi bumerang terhadap dirinya secara pribadi. Kalaupun akan membuat aforisme ‘ngeri-ngeri sedap’; ‘provokatif’ atau ‘yang sensitif menyerang lawan’ cukuplah dilakukan tim sukses tadi sehingga bila terjadi bumerang tidak langsung mengenai si tokoh yang dijagokan untuk menduduki jabatan politis. Si tokoh tugasnya adalah membangun citranya di tengah masyarakat dengan cara menyuarakan konsep, misi, visi, interaksi positif dengan berbagai pihak dan lain sebagainya.
Aforisme politis Anies ingin ‘memulangkan petahana’ bisa jadi bumerang bagi karier politik Anies dimasa datang. Bagi publik, aforisme bisa dianggap sebuah janji si tokoh. Aforisme Anies kali ini sebelas dua belas dengan pernyataan Amies Rais yang akan jalan kaki dari Yogya ke Solo bila Jokowi menang dalam pilpres. Pertanyaannya adalah bila Anies kalah dalam pilgub DKI nanti apakah dia akan pulang ke kampungnya di Yogya? Malu dong lama-lama di Jakarta, sementara Ahok sang petahana melanjutkan pemerintahan? Publik tidak akan lupa dengan ucapan seorang tokoh politik. Mereka akan menagih terus ‘janji’ politik atau sebuah konsekuensi yang dialami si tokoh baik menang maupun kalah !
Pada konteks sepakbola, ketika tim penantang juara bertahan justru kalah maka tim itulah yang harus angkat koper untuk pulang kampung. Padahal sebelumnya tim penantang itu sudah berkoar-koar ke publik akan ‘memulangkampungkan juara bertahan’. Publik sepakbola tidak akan mempermasalahkan tim yang kalah tim kalah karena ‘benar-benar pulang kampung’. Hal itu merupakan sebuah konsekuensi yang dijalani secara sportif. Ngapain lama-lama di tempat tersebut, bukankah menghabiskan biaya dan tenaga? Belum lagi soal sakit hati. Mendingan pulang kampung dan berlatih lagi. Bukankan begitu?
Dalam konteks aforisme Anies, bila dia kalah apakah rela pulang kampung? Kampung halaman Ahok selaku petahana adalah daerah Belitung Timur, sedangkan Anies di Yogyakarta. Dari Jakarta, kampung Anies yang paling dekat dibandingkan kampung Ahok. Tapi siapa yang nanti pulang kampung bukan soal jauh atau dekat dari Jakarta tetapi raihan suara pilkada.
Jalan Keluar Bagi Anies
Masih ada cara elegan untuk Anies menyelamatkan diri bila realitasnya nanti dia yang kalah dan pernyataan itu jadi bumerang yang menghantam dirinya. Seandainya justru dia yang kalah maka jangan malu mengucapkan " Ahok, gue balik kampung yah" atau Selamat ya, Gus (Agus), gue balik kampung dulu, neeh". Silahkan lanjutkan kompetisi bersama Ahok". Atau bisa juga begini : Hok/Gus....selamat ya kalian menang, tapi ijinkan gue gak jadi balik kampiung. Gue masih pengen tetep di Jakarta untuk ngelanjutin karier gue.