Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Patrialis Akbar Belajar pada Akil Mochtar

27 Januari 2017   08:37 Diperbarui: 28 Januari 2017   12:59 2217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patrialis Akbar II sumber gambar ; assets.kompas.com

Tertangkapnya Patrialis Akbar-Hakim Mahkamah Konstitusi bikin heboh (lagi) negeri ini. Beritanya heboh bagi sebagian publik namun sebagian lagi menganggapnya biasa saja. Publik yang heboh tak menyangka kejadian hakim MK terkena (lagi) OTT KPK. Sementara publik yang tak heboh hanya tersenyum sinis dilandasi sikap skeptis pada dunia hukum di negeri ini.

Patrialis Akbar berlatar belakang pendidikan tinggi yang mumpuni di bidang Hukum. Strata pendidikannya adalah Doktor Hukum. Selain itu dia dikenal sosok santun dalam sikap dan tutur kata, baik kepada kawan maupun lawan politiknya. Hampir tidak pernah dia mengucapkan kata-kata kasar saat berdebat dengan lawan maupun kawan saat memangku jabatan penting di dunia kampus, politik dan hukum. Setiap kata yang terucap sangat terukur, baik pemilihan kata maupun aspek emosi yang menyertainya. Itulah sebabnya seorang Patrialis Akbar sangat disegani banyak pihak.

Patrialis Akbar merupakan anak kampung nan jauh di mato yang sejak dari kampung punya cita-cita tinggi memperbaiki nasib di kota besar. Dia berasal dari keluarga sederhana yang ingin maju. Dia pernah 'dihina' bagian administrasi PTN terkenal karena membawa syarat administrasi yang tak diperlukan masuk kuliah bidang hukum. Namun tekadnya yang besar untuk 'menjadi orang' membuatnya menjadi manusia tangguh dalam mencapai cita-citanya.

Sejak dahulu, Patrialis Akbar ingin menjadi ahli hukum yang berguna bagi bangsa dan negara ini. Apa yang dia cita-citakan akhirnya terwujud!

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga hukum prestisius di negeri ini. Hanya orang terpilih yang bisa menjadi bagian lembaga tersebut. Dan di situlah tempat dia menemukan cita-cita lamanya. Pencapaian tersebut telah menjadikan seorang Patrialis Akbar sosok inspiratif bagi banyak orang dalam hal memperjuangkan cita-cita.

Perjalanan Patrialis Akbar Mirip Akil Mochtar
Perjalanan karier seorang Patrialis Akbar hampir mirip dengan Akil Mochtar - mantan Ketua MK masa lalu. Akil merupakan sosok yang memiliki sifat kenegarawan, sangat cerdas berpolitik, tidak suka menjelek-jelekkan lawan, dan mempunyai energi besar dalam aktivitasnya.

Akil merupakan anak pedalaman 'yang nama kampungnya hampir tak terdengar dan letaknya pun mungkin tak tertera" di peta besar negeri ini. Masa sekolah dulu Akil Mochtar bukanlah siswa paling pintar di kelas, melainkan biasa-biasa saja namun dikenal ulet dan selalu beruntung. Setelah lulus SMA kemudian Akil kuliah fakultas hukum di universitas swasta. Masa itu masuk universitas negeri lebih bergengsi daripada universitas swasta, apalagi di level daerah seperti Kalimantan Barat. Namun nasib orang di kemudian hari siapa tahu? (secara lengkap bisa dibaca di sini).

Mirip Sejatinya Tak Meniru
Walau sama-sama memangku jabatan hebat di Mahkamah Konstitusi, namun ada satu hal yang membuat Patrialis Akbar berbeda dengan Akil Mochtar yakni pada unsur Waktu (timeline). Akil lebih dahulu jadi orang MK dibandingkan Patrialis Akbar. Saat nama Akil berkibar selaku Hakim MK kemudian jadi Ketua MK, Patrialis Akbar belum masuk MK dan masih berkutat sebagai politisi partai PAN di DPR RI---tempat yang dulu juga dijalani Akil Mochtar selaku politisi Golkar.

Unsur waktu menjadi pembeda yang penting dalam membuat perbandingan. Unsur 'waktu' menjadikan sebuah apple to apple yang semula 'pas' menjadi tidak 'pas'. Dalam sebuah ruang dan waktu, orang yang berada di kurun waktu terkini bisa mengetahui banyak kelebihan dan kekurangan orang dari masa lalu. Sementara orang yang berada di masa lalu tidak bisa mengetahui kelebihan dan kekurangan orang dimasa yang akan datang (terkini). Itulah mengapa sesuatu (orang) terkini sejatinya harus lebih baik dari yang terdahulu. Sebagai contoh; teknologi ponsel masa kini lebih canggih dari ponsel masa lalu. Teknologi ponsel terkini bisa lebih baik karena belajar banyak (hasil penyempurnaan) dari kekurangan ponsel masa lalu.

Benar kata pepatah masa lalu. Jangan lupakan sejarah (masa lalu). Lewat sejarah maka masa kini bisa belajar banyak untuk menjadi lebih baik.

Walau berada dalam dimensi ruang yang sama namun dimensi waktu Patrialis Akbar dan Akil Mochtar jauh berbeda. Patrialis Akbar diuntungkan sebagai orang MK terkini. Dia bisa belajar banyak dari plus-minus seorang Akil Mochtar. Sebaliknya, Akil Mochtar saat di MK tidak bisa belajar banyak dari Patrialis Akbar.

Dimensi waktu yang berbeda sejatinya membuat Patrialis Akbar lebih hebat dari Akil Mochtar.

Ketika Akil Mochtar sebagai "orang kampung" yang beruntung kemudian menjadi buntung, Patrialis Akbar pun menirunya. Dia tahu dan sejatinya bisa belajar banyak ketika Akil Mochtar terjerembab ke lubang lumpur korupsi yang membunuh karier dan cita-citanya. Harusnya Patrialis Akbar tak masuk ke lubang yang sama, sebaliknya menjadikan lubang lumpur Akil itu pembelajaran agar cita-citanya terjaga baik sampai purna tugas.

Kesempurnaan yang Memalukan?
Patrialis Akbar nampaknya tak mau setengah-setengah menjadi 'sosok mirip' dengan Akil Mochtar. Patrialis Akbar menggunakan strategi total footbal untuk mirip. Celakanya strategi itu salah tempat. Operasi OTT pada Akil Mochtar kala itu sangat fenomenal. Ternyata fenomenalitas itu ingin juga dirasakan oleh Patrialis Akbar. Sungguh kemiripan yang Sempurna!

Sayangnya sekali "kesempurnaan" itu menjadi cacat memalukan institusi hukum dan melukai jutaan masyarakat di negeri ini.

-------

Peb27/01/2017

Referensi: kompasiana.com, mahkamahkonstitusi.go.id, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun