Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana Sebagai Ruang Refleksi Perjalanan Menulis

22 Desember 2016   12:28 Diperbarui: 22 Desember 2016   13:09 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ; https://messilionel414.files.wordpress.com/2013/09/44da40ae.jpeg"][/caption]

Seorang kawan menanyakan kenapa sekarang Kompasiana sepi, tak seramai dulu. Padahal di ujung tahun ini banyak issu hangat dan seksi menunggu perspektif para penulis handal di Kompasiana. Pertanyaan berikutnya, mengapa saya tetap di Kompasiana ini. Apa yang kau cari, bro?

Saya sempat tercenung oleh rentetan pertanyaannya datang saat saya 'sibuk' baca berita politik tak pakai celana. Pertanyaan itu serasa main bola diserang 7 hari 7 malam oleh Timnas Thailand. Saya kemudian memandang rumput taman di luar ruang kaca besar dan berharap dapat jawaban. Bukankah Ebiet G Ade pernah katakan "Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang".

Pertanyaan pertama sebenarnya bukan ranah saya untuk menjawabnya. Ada ratusan ribu Kompasianer dan ribuan penulis aktif dan handal di Kompasiana. Apa kompetensi saya menjawab fenomena sepinya Kompasiana? Bisa-bisa jawaban saya dianggap sebuah "penistaan" kebenaran. Heuheuheu...

Sebuah pertanyaan tak harus langsung dijawab secara hitam-putih. Ada jurus 'possesion football' yang bisa digunakan. Hal itu mirip jurus 'ngeles' saat menghadapi pertanyaan kritis mahasiswa di kelas sementara saya lupa-lupa ingat atau baru tahu informasi itu . Maklum saja, mahasiswa sekarang jauh lebih cepat mendapatkan informasi terkini dibandingkan dosennya.

Dalam konsep jurus 'ngeles' tersebut ada ruang tercipta antara si penanya dan orang yang ditanya. Ruang itu merupakan sebuah tempat bagi kedua pihak untuk sama-sama berpikir ulang tentang segala variabel suatu fenomena. Berbekal wawasan tertentu diharapkan akan ada stimulan jawaban.

[caption caption="sumber gambar ; http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2013/10/manusia-kayu-bercermin.jpg"]

[/caption]

Dua realitas sepinya Kompasiana

Ada dua realitas sepinya Kompasiana, yakni didalam dan diluar diri Kompasianer. Masalah teknis perbaikan server merupakan realitas diluar sedangkan realitas didalam adalah semangat menulis Kompasianer. Realitas diluar tak semestinya jadi realitas di dalam. Masalah teknis server Kompasiana sejatinya yang tak mempengaruhi semangat menulis.

Menulis adalah kegiatan pribadi seorang penulis. Ketika ada masalah teknis di Kompasiana maka tidak serta merta membunuh semangat atau menghambat kegiatan pribadi tersebut. Seorang penulis dapat terus melakukan kegiatannya sembari menunggu proses perbaikan teknis Kompasiana. Pernyataan ini masih debatable ;

# "Kalau Kompasiana error tidak bisa posting tulisan. Jadi percuma bikin tulisan, bro !"

* "Celeguuk...!"

# "Lalu, apakah gagal posting membuat spirit menulis jadi redup?"

* "Iya, bro...mana enak capek-capek bikin tulisan gak bisa diposting. Emang mau dibaca sendiri?"

# "Trus, banyak tulisan yang hilang begitu saja!"

* Celeguuk....

Tak dipungkiri bahwa prosesi memposting tulisan di Kompasiana merupakan kepuasan tersendiri. Beda kamar dengan nikmatnya proses menulis. Nikmat paripuran didapat ketika tulisan selesai dilanjutkan posting tulisan. Akan jadi sempurna bila dibaca banyak orang. Apalagi bila postingan itu dapat label bergengsi dari admin.

Namun bila kita kembali pada Refleksi Diri, sebenarnya esensinya adalah pada proses penciptaan tulisan. Inilah lingkup sebenarnya untuk melihat spirit menulis pada diri si Penulis. Soal posting dan 'error server' Kompasiana adalah urusan realitas diluar, jadi tak perlu bikin pusing sendiri. Realitas diluar bukan domain utama Refleksi Diri. Perlu juga dipahami bahwa ada banyak lagi realitas diluar yang mengitarinya. Haruskan kita berdiam diri ketika beragam realitas luar itu 'membunuh' spirit menulis?

Kalau kita mau lebih dalam menyimak ruang relfeksi diri maka akan didapatkan rangkaian pencapaian diri yang utuh dalam hal menulis. Dulu, mau menulis saja takut, tidak pede, merasa tidak bisa, ragu, dan segala macam rasa bercampur jadi satu. Ketika mulai menulis, perlu waktu lama, tenaga dan gonjang ganjing emosi untuk menyelesaikan satu tulisan. Hasilnya pun mungkin diam-diam 'bikin ngakak' diri sendiri dan bahkan orang lain.
Seiring berjalannya waktu dan tingginya intensitas menulis maka tak ada lagi ganjalan psikologis. Kepercayaan diri bertambah. Bandingkan saja tulisan awal saat masih belajar dengan tulisan terkini !

Jadi, kenapa Kompasiana sekarang sepi? Semua kembali ke refleksi diri sebagai penulis. Semoga spirit menulis itu tak layu.
....Om, Telolet Om!

-----

Terminal 1A Bandara Soekano-Hatta..

Peb, 22/12/2016

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun