Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

8 Tahun Kompasiana, Saya Kena Anu Sampai Nganu

25 Oktober 2016   20:42 Diperbarui: 26 Oktober 2016   02:57 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber gambar ; kompasiana.com "][/caption]

Tadi pagi saat masih berada di kereta Argo saya buka Kompasiana pakai BB jadul untuk balas komen beberapa teman pada artikel fiksi yang nongkrong di Nilai Tertinggi. Pada saat itu terlihat data statistik Profil Akun saya masih sehat-sehat saja.

Saya ingat, beberapa data itu karena halaman profil saya jadikan ‘Penanda’, jadi kalau buka Kompasiana yang muncul pertama kali adalah halaman profil itu.

Sengaja saya jadikan ‘Penanda’ agar tidak lupa wajah sendiri. Maklum saja saya seringkali lupa dengan wajah sendiri karena faktor U. Kata bu guru salah satu cara agar tidak lupa adalah menjadikan profil Kompasania sebagai penanda. Dasarnya saya orang patuh dan tidak sombong, maka terciptalah narsis itu.

Sampai di Stasiun Gambir saya buru-buru nyambung naik bis Damri di deret terdepan untuk ke Bandara Soetta. Waktu sudah rada mepet dengan jadwal penerbangan. Rencanannya hari itu saya akan ke kota Anu. Disana ada jadwal ‘syuting’ selama beberapa hari.

Selama perjalanan di bis Damri saya tidak buka BB walau banyak penumpang asik dengan smartphone nya. Saya ingat pesan om Polisi, “Dilarang mengeluarkan anggota badan selama di perjalanan”. Itu saja. Kurang patuh apa saya? Jadi saya mengisi waktu perjalanan dengan Tidur saja sesuai pesan dokter “Tidurlah untuk menjaga kesehatan Anu".

Sampai di Bandara Soetta segera chek in dan menuju ruang tunggu. Rencananya saya mau baca Kompasiana tapi tidak jadi. Karena saya terlanjur asyik ngobrol ngalor-ngidul dengan beberapa calon penumpang. Sesuai pesan mbah Habbermas; Ruang tunggu adalah salah satu ruang publik (public space dan public place) untuk berinteraksi.

Interaksi tersebut nyata, bukan maya apalagi mimpi!

Setelah masuk pesawat ternyata tidak penuh. Dua tempat duduk di samping saya ternyata kosong, jadi tak ada kawan ngobrol. Kalau ngobrol dengan pramugari tampaknya sulit karena mereka sangat pemalu. Buktinya mereka duduk di ruang belakang pesawr, bukannya nyamperin saya yang lagi kosong. Iya, kan? Heu heu heu...

Saya bisa gila kalau hanya bengong selama 1,5 jam. Jadi rencananya saya akan menulis artikel untuk mengisi waktu. Tapi niat itu saya urungkan karena ada panggilan nurani yang harus dituruti, yakni “Tidurlah, demi kejayaan bangsa dan negara ini.” Ya, sudah....saya pun tidur dengan lugu sebagai bentuk konsistensi nurani.

Salah satu misi dan visi tidur saya adalah dibangunkan pramugari ketika sudah mendarat saat penumpang lain sudah turun. Tapi misi dan visi itu hanya tercapai sebagian. Saya terbangun tanpa sentuhan pramugari, sementara penumpang lain terlihat sibuk membereskan barang sebelum keluar pesawat.

Bagi saya lebih baik punya visi dan misi daripada hanya sibuk selfie, mengkritik mimpi dan kalau ditanya cuma memberi pernyataan normatif yang cenderung terlihat ragu-ragu atau tidak siap. Tanpa program kerja yang jelas dalam tidur sungguh suatu yang aneh, bukan? Saya tak ingin  menistakan keintelektualan saya-yang sudah dikenal humanis dan cemerlang dalam karier sebagai tukang mimpi yang ganteng.

Setiba di bandara tujuan, saya memilih tempat khusus untuk sejenak mempertajam keahlian sebagai ahli isap asap. Sambil menunggu taksi, saya buka Kompasiana. Saya baca artikel Bambang Setiawan (Bamset) bahwa Anunya Nganu. Kejadiannya baru sekitar 1 jam yang lalu.

Tak mau kehilangan momentum, saya balik lihat halaman profil saya. Cilaka dua belas! Anu saya pun Nganu seperti yang dialami Bamset. Saya lihat di halaman profile saya itu telah berubah. Data stastik Kompasiana saya kena ‘Sanering’ sekitar 50 persen. Jumlah label  artikel Pilihan 440-an berubah jadi 255; Headline 105 jadi 58 ; Nilai 16.400-an jadi 12.362; Komentar 16.500-an jadi 12.455; Dibaca 852ribu jadi 546.485.

Melihat ‘Sanering’ itu, saya kesal dan marah. Saya merasa Anu saya dinistakan oleh oknum Errror. Harunsya ini tidak boleh terjadi karena data statistik itu sangat saya banggakan dan puja untuk bekal kampanye jadi admin tahun 2222 dan jadi modal pencitraan saya untuk pencalonan jadi presiden tahun 2224. Data statistik itu adalah simbol kehebatan dan kemuliaan saya sebagai Kompasianer yang Nganu.

Belum sempat saya membanting BlackBerry jadul kesayangan, jemputan taksi sudah muncul. Tadinya saya merencakan penggalangan aksi demo besar-besaran pada bulan November untuk mengembalikan data statistik akun saya, tapi di taksi saya justru keasikan ngobrol dengan supir, seorang bapak tua yang lembut baik hati dan tidak sombong.

Sopit itu adalah pensiunan tentara - seperti saya duga dari gayanya. Ditengah macet jalan, dia cerita banyak tentang kehidupan.

Dengan mobil Avanza hitamnya kini dia mengisi waktu pensiun hari tuanya dengan narik taksi. Tidak ada target pendapatan tertentu. Hidup adalah proses dan pencapaian, tapi hidup juga adalah kenikmatan dan suatu pilihan cara menikmati. Saya belajar banyak dari bapak sopir itu. Saya akhirnya lupa rencana menggalang Demo Error dibulan November.

Sampai di hotel, setelah chek-in dan menempati kamar yang sejuk di lantai 8, saya buka Kompasiana pakai laptp. Mumpung internet gratis. Hari ini tumben saya nulis pakai laptop.

Saya lihat ada inbok dari Admin Kompasiana ditujukan khusus kepada saya. Kompasiana  mengabarkan Anu saya dipilih dari sejumlah Anu Kompasianer untuk Nganu bersama Kompasiana. Saya sangat tersanjung dan merasa terhormat jadi pilihan mereka.

Kemarahan saya hilang. Betul kata bapak sopir tadi, hidup adalah proses dan pencapaian, tapi hidup juga adalah kenikmatan dan suatu pilihan cara menikmatinya.

Saya pikir,biarlah data statistik di halaman profile itu Nganu oleh Error. Semua itu hanya statistik, tidak akan mengurangi Keanuan saya yang sudah dirasakan banyak pembaca Kompasiana. Saya sadar masih dalam proses Nganu.

Pikiran dan sikap saya itu merupakan kenikmatan dan pilihan cara menikmatinya. Saya jadi ingat pesan sebuah iklan : “jangan takut main lumpur karena ada sabun antiseptik’’.

Jadi, kenapa harus marah?

------
Peb25/10/2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun