[caption caption="sumber gambar : https://elvirawihardjan.files.wordpress.com/2011/06/1.jpg"][/caption]
Sosok hebat di depan itu adalah pemilik podium. Gestur tubuhnya berbicara. Bibirnya adalah suara. Sorot matanya adalah bahasa. Aku menyimak setiap kata dari nafasnya. Bola mataku tak lepas pada tiap hamburan huruf dari mulutnya. Semua akan kujadikan jembatan di kanal pikiran. Kata banyak orang, semua itu demi peradaban.
Tempat aku duduk itu seperti dunia tinju. Setiap orang harus jalani pertarungan wajib untuk jadi juara. Lawannya adalah diri sendiri. Suka atau tidak suka bukan lagi sebuah pilihan.
Di tempat itu aku mendua. Betapa tidak, aku disandera pemilik podium di depanku yang tak henti menabur kata dan kesaksian, sementara di sebelah kananku, di luar jendela kaca mempertontonkan dedaunan basah sembari menari. Setiap helainya bersorak sorai dan memanggilku agar ikut bermain di rinai hujan. Merayakan kebebasan bersama genangan, lumpur, gemericik dan angin.
Pada saat itu aku berpikir si Pemilik podium itu tak punya arti apapun. Dia bukan lagi saksi masa depan, tapi semua yang di ruang luar kaca jendela itulah sejatinya.
Tak banyak orang tahu, hujan bisa menciptakan ruang masa kanak-kanak - simpul waktu yang tak pernah bisa kembali - selain oleh persekutuan rinai hujan dan pikiran nakal.
-----
[caption caption="sumber gambar : http://assets-a2.kompasiana.com/statics/crawl/556536240423bdd8328b4567.jpeg?t=o&v=760"]
Pebr20/10/2016
Â
#catatan ; fiksi ini bermula ditulis saat berada di ruang seminar akademik dan di luar sedang turun hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H