Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sebuah Saran ketika Lari Pagi Jadi Agenda Politis

2 Oktober 2016   23:43 Diperbarui: 25 Oktober 2016   03:47 4775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cagub Agus Yudhoyono bersama rombongan politik saat lari pagi (poskotanews.com)

Kegiatan olahraga lari pagi pada masyarakat perkotaan kini telah jadi bagian "gaya hidup". Hampir setiap pagi, khususnya saat weekend Sabtu-Minggu dapat dijumpai masyarakat berolahraga pagi. Mereka tersebar di beberapa ruang publik kota yang jadi pusat kegiatan, seperti lingkungan stadion olahraga, jalan protokol, alun-alun, dan kawasan perdagangan.

Ruang publik itu tak semata tempat olahraga, beragam aktivitas lain bermunculan, misalnya berdagang makanan-minuman, panggung musik, dan promosi prosduk. Sering kali suasana yang tercipta mirip sebuah karnaval.

Aroma Politik di Ruang Publik Kota

Dunia politik tak mau kalah. Para politikus pun hadir bersama kelompoknya untuk berolahraga sambil "kampanye". Apalagi bila jelang Pilkada seperti yang dilakukan Sandiaga Uno dan Agus Yudhoyono jelang Pilkada DKI. Agus bahkan hadir bersama keluarga besarnya; Ayah (Pak SBY), Ibu Ani, Istri, pengawal, dan para politikus pengusungnya.

Cagub Sandiaga Uno bersama rombongan larinya (merdeka.com)
Cagub Sandiaga Uno bersama rombongan larinya (merdeka.com)
Jelang pilkada sejumlah politikus yang tadinya tidak pernah olahraga pagi di ruang publik terbuka seperti itu mendadak rajin datang dan ramah kepada setiap orang. Hal itu sah-sah saja. Tak ada larangan, karena politikus adalah warga kota juga yang punya hak beraktivitas di ruang publik. Politik boleh tersaji, seperti halnya hiburan, perdagangan, dan promosi produk.

Jelang pilkada, ruang publik orahraga pagi telah jadi bagian ruang politik. Kalaupun tidak berbicara tentang politik, aura politik tak bisa lepas dari tubuh pelaku politik. Oleh publik olahraga pagi, politikus dipandang sedang "berkampanye" di ruang publik olahraga pagi.

Aura Eksklusif di Lokasi Lari Pagi

Satu hal yang tampak ketika para politikus itu hadir di ruang publik tersebut adalah munculnya kelompok eksklusif di keramaian. Akibatnya, muncul cibiran dari masyarakat di sana. Inilah "sifat" umum masyarakat kita yang dari sono-nya "anti" kepada orang yang berlaku 'eksklusif' di ruang publik.

Niat awal politikus untuk mendapatkan simpati massa. Namun, tanpa disadari cara yang mereka lakukan di lapangan tidak tidak tepat menyebabkan niat politisnya tidak tercapai optimal.

Aura eksklusif muncul ketika politikus itu lari pagi secara berkelompok sesama mereka. Di tengah keramaian, kelompok mereka seolah ingin menghadirkan sebuah tontonan. Kelompok itu seolah membaur, tapi sebenarnya tidak menyatu. Ada jarak yang tak terukur di kedekatan fisik. Masyarakat umum yang ingin mendekat dan menyapa pun jadi segan. Secara kritis tentu menimbulkan pertanyaan; apakah seorang pemimpin harus seperti itu?

Ada "tren" baru di alam demokrasi negeri ini, yakni seorang pemimpin adalah tokoh yang mampu dekat secara fisik dan emosional dengan masyarakat. Pemimpin seperti inilah yang "bisa diterima" masyarakat. Kalau di tengah keramaian saja si tokoh berjarak dengan masyarakat, bagaimana masyarakat bisa menerima secara emosional?

Sebuah Saran Sederhana

Untuk Agus Yudhoyono dan Sandiaga Uno, ada baiknya bila lari pagi politis dilakukan tidak dalam kelompok sendiri. Cukup tokoh utama bersama istri saja layaknya orang awam yang sedang lari pagi di situ. Kalaupun harus ada pengawal, cukup satu atau dua orang yang tampilannya tidak kentara. Buat jarak yang cukup jauh namun terkontrol.

Bila "harus" datang dengan kelompok politik, sebaiknya kelompok itu berpencar secara personal dan membaur dengan masyarakat. Karena kalau menyatu dalam kelompok, mereka seperti ikan hias dalam akuarium. Hanya jadi tontonan, tak bisa disentuh, tak bisa didengar suaranya. Ikan itu tampak dekat, tapi ada sekat kaca yang menjadi pemisah dua dunia.

Tanpa disadari, kelak sekat transparan itu sebenarnya punya andil pada sedikitnya perolehan suara mereka di Pilkada.

-----

Peb3/10/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun