Banyak cara untuk meraih simpati publik dalam politik. Simpati itu jadi pintu masuk meraih suara publik. Salah satu caranya adalah menonjolkan penampilan fisik rupawan si Calon pemimpin yang diusung dalam pilkada. Secara undang-undang tidak ada larangan bagi sosok ganteng atau tampan ikut berpolitik.
Penampilan ganteng merupakan karunia seseorang yang memilikinya. Di dalam politik karunia itu sering dijadikan 'nilai tambah' untuk mempengaruhi sebagian publik agar memilih si Ganteng.
Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita memang suka tampilan rupawan figur politik layaknya dunia hiburan. Pada masa lalu ada figur politik seperti itu misalnya Andi Mallaranggeng dengan ciri khas kumisnya yang banyak disukai kaum perempuan.Â
Andi bukan hanya ganteng tapi juga ramah dan pintar. Seringkali dia juga disorot kamera Entertainment. Sebagai figur politik Andi termasuk dekat dengan kalangan artis.
Pada pilkada gubernur DKI kali ini diikuti figur muda dan ganteng seperti Anis Baswedan, Agus Yudhoyono, Sandiaga Uno, dan Ahok sang Petahana. Selain itu mereka juga terpelajar (pintar) dan ada yang lulusan dari universitas top di luar negeri.
Tanggapan publik pada penampilan fisik mereka disebut-sebut di media mainstream dan media sosial. Kegantengan mereka saling dibandingkan. Hal ini jadi nilai tambah mereka untuk mudah dikenal publik. Bagi partai pengusung, unsur ganteng dan pintar mereka bisa diolah sedemikian rupa untuk meraih suara, khususnya dari kalangan perempuan yang melihat mereka laksana idola dunia hiburan. Ini sah-sah saja.
Apakah kelak kelompok pengusung mereka lebih mengedepankan tampilan rupawan mereka? Waktu yang akan menjawabnya saat masa kampanye kelak. Selain itu juga tergantung respon publik dalam melihat merek. Bila dalam kampanye nanti eforia publik lebih besar responnya pada kegantengan, maka kelompok pengusungnya akan terus 'menggoreng' kegantengan itu untuk meraih suara publik. Jadi semua kembali pada publik juga.
Bila kelak kelompok pengusung lebih mengedepankan faktor kegantengan secara berlebihan pada para figur politik calon pemimpin daerah maka publik perlu mewaspadai beberapa hal;
Pertama, ada upaya menutupi kelemahan atas ketidakmampuan si calon gubernur menampilkan program unggul bila kelak jadi pemimpin. Ini masalah komitmen memimpin.
Kedua, si peserta Pilkada dan kelompok pengusungnya sudah merasa kalah sebelum bertanding dengan calon lainnya. Ini masalah mentalitas pemimpin.
Ketiga, tampilnya cara berpolitik yang main-main, tidak serius karena masalah komitmen dan integritas. Politik hanya dijadikan alat bagi kepentingan lain, hanya sebagai batu loncatan menuju hal yang belum bisa diterka publik. Hal ini masalah kepercayaan dan kejujuran si calon pemimpin.