[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar ; http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/767578/big/049691300_1416230000-shy-guys-and-dating1.jpg"][/caption]
"Tulisan ente tiap hari muncul di Kompasiana, apa tidak malu? Pembaca dan admin bisa bosan. Dan ente dikira nggak punya kerjaan."
Hadeuuh...kalau dipikir-pikir ada benarnya juga ya?
Pertanyaan diatas hanya karangan semata. Bila ada kesamaan peristiwa dan tempat hanyalah kebetulan belaka.Tak perlu tersinggung, malu atau marah. Persoalan itu ini bisa kita selesaikan di bawah tangan...ehh tangan di bawah.
"Bagaimana menyelesaikan dengan tangan dibawah?"
Ya,dengan cara menulis, dong...heuheu.!
"Kok Menulis lagi, kan bisa bikin bosan dan malu bertambah!" Naah, Itu!Â
----
Kegiatan menulis adalah hubungan pribadi penulis dengan pikirannya. Hubungan ini bersifat privat dan 'sakral'. Hanya si penulis dan pikirannya yang tahu kenapa sebuah tulisan dihasilkan. Sejauh itu positif bagi si Penulis dan pikirannya, maka pihak lain tidak perlu ikut campur. Pembaca atau bukan pembaca tidak berhak memberi stigma negatif terhadap relasi (kegiatan) si Penulis dengan pikirannya.
Setiap orang memiliki kebutuhan bathiniah atau 'spiritual' dalam bentuk yang berbeda satu sama lain. Penuangan pikiran, apa pun yang dipikirkan, merupakan sebuah upaya pemenuhan kebutuhan batin itu. Dengan menulis, penuangan pikiran menjadi sebuah bentuk yang nyata.
Bila setiap hari selalu ada saja yang perlu dituangkan dalam bentuk tulisan maka bukan hal mustahil setiap hari pula terjadi relasi privat dan 'sakral' antara si Penulis dengan pikirannya. Kita tidak bisa menebak secara pasti penyebab tingginya intensitas relasi seseorang (Penulis) dengan pikirannya tersebut. Sejumlah faktor umum bisa menjadi sebab, seperti derasnya informasi masuk ke pikiran si Penulis lewat media tulis-bacaan, berita, media tontonan, atau pengamatan sekeliling dan lain sebagainya. Selain itu ada yang karena motif-motif pribadi berkaitan dengan pencarian sesuatu yang hakiki. Apapun itu, secara pasti hanya si Penulis lah yang tahu penyebabnya.
Derasnya informasi yang masuk 'membutuhkan manajemen informasi' di dalam pikiran seseorang karena terbatasnya kapasitas memori pikiran untuk menampung semua informasi itu. Manajemen tersebut dipelukan agar pikiran bisa tetap seimbang yakni antara 'yang masuk' dengan daya tampung-kapasitas pikiran yang dimiliki. Dengan begitu pikiran tetap sehat.
Ada sejumlah upaya yang umumnya dilakukan, misalnya pemilahan dalam bentuk mengelompokkan informasi berdasarkan prioritas kepentingan kemudian mengendapkannya untuk kepentingan tertentu. Selebihnya dibuang atau diabaikan sejak awal. Ada pula upaya mengolah dan menyalurkannya kembali sebagai informasi 'baru', yang salah satu bentuknya adalah dengan menulis. Hal tersebut secara sadar atau tidak membentuk mekanisme tertentu dalam diri si Penulis.
Ketika seseorang (Penulis) sudah paham akan mekanisme yang terjadi didalam dirinya (Pikirannya), maka relasi 'sakral dan privat' dirinya dengan pikirannya otomatis bekerja dalam situasi apapun. Tak perduli sedang sedang dalam kesibukan aktifitas fisik, tak perduli terjepit oleh waktu yang terbatas dan lain sebagainya. Mekanisme pencarian keseimbangan itu terus bekerja yang bahkan mengabaikan rasa malu yang kadang muncul tiba-tiba. Prinsipnya, abaikan rasa malu untuk menghormati relasi 'privat dan sakral' sebagai mekanisme mencapai keseimbangan diri. Dengan begitu si Penulis menjadi sehat. Soal kualitas dan penilaian atau 'stigma'. terhadap out-put tulisan itu adalah urusan para pembaca, bukan milik si Penulis. Karena seorang penulis sudah mengabaikan rasa malu sejak dia mula membangun relasi 'sakral dan privat' dengan pikirannya.
Salam malu-malu..
-------
Peb13/09/2016
[caption caption="sumber gambar : http://3.bp.blogspot.com/_6mv3FP3UE3I/TC7igk0cm8I/AAAAAAAAAY4/81mhRxnc0ks/s1600/malu-758593.jpg"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H