Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Motivator Kondang Mau Mendengar Motivasi dari Orang Lain?

12 September 2016   00:33 Diperbarui: 12 September 2016   02:06 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar ; https://farm6.staticflickr.com/5652/23558396895_0a12c4c746.jpg"][/caption]

Ini hanya catatan kecil. Sebuah pertanyaan yang menggelitik pikiran. Muncul begitu saja dibenak. Apakah seorang Motivator Kondang masih mau mendengar motivasi dari orang lain?

Segala macam kata bijak tentunya sudah diproduksi dan dimiliki oleh Motivator Kondang. Untuk mencapai tahap Kondang, sudah sangat banyak hasil perenungan hidup dilakukannya. Beragam buku dibaca, kemudian semua itu diwujudkan dalam kata-kata bijak, dibagikan di banyak event dan panggung motivasi. Selain itu ditulis dan dibaca oleh banyak orang.

Reaksi positif sebagian publik penyuka motivasi menjadi kredit point penting untuk memperkokoh 'kepakaran-eksistensi' si Motivator. Apalagi bila ada catatan kesaksian mereka yang berhasil mengubah hidupnya oleh motivasi tersebut. Maka jadilah si Motivator menempati ruang ekslusif publik.

[caption caption="sumber gambar ; http://media.viva.co.id/thumbs2/2013/06/28/40052-0_663_382.jpg"]

[/caption]

Kembali ke pertanyaan menggelitik tadi, Apakah setelah menjadi motivator kondang masih mau mendengar motivasi dari orang lain?

Kalau boleh saya melakukan perbandingan dengan ilmuwan atau pakar ilmu pengetahuan tertentu berlabel Profesor. Bisa jadi Motivator Kondang sudah setaraf Profesor, (perbandingan ini ekuivalent atau tidak-saya mohon maaf). Titik tolaknya adalah 'penguasaan ilmu-kepakaran' yang spesifik.

Seorang ilmuwan/pakar ilmu sudah terbiasa berada dalam ruang sanggah-menyanggah. Ada paradigma yang dipakai pihak lain untuk menyanggah suatu hal berkaitan kepakaran si Ilmuwan. Di ruang sanggah (forum ilmiah) si Pakar akan mendengarkan kritik dan sanggahanan yang didasarkan sebuah penjelasan mulai dari hipotesa, dasar teori, pilihan metoda ilmiah, percobaan empiris dan kesimpulan.

Bisa jadi sebuah kritik atau sanggahan ilmiah dari pihak lain kemudian jadi rujukan baru. Sedangkan si Pakar tadi suka tau tidak suka turut menjadikan Kritik atau Sanggahan tadi sebagai rujukan atau tambahan referensi.

Setelah teori si Pakar disanggah tak mengurangi kepakarannya tidak akan menjatuhkan eksistensinya yang sudah lama terbangun.

Satu hal yang ingin digarisbawahi dari ilmuwan adalah terbiasa atau dibiasakan 'Berbeda Pendapat' ; 'Mendengar' ; 'Didengar', dan 'Menerima' (kebenaran baru). Sebagai seorang pakar, dia tampil tidak sebagai dewa. 

Lalu bagaimana dengan seorang Motivator Kondang? Saya kurang mengetahui secara mendalam 'ruang ilmiah' motivator. Hanya sepintas melalui beberapa buku dan tontonan di televisi. Disana yang tampak adalah sosok superioritas seseorang motivator di hadapan audience. Si Motivator dalam posisi 'pemberi solusi' yang 'tak terbantahkan', sedangkan audience dalam posisi 'menerima solusi' yang 'pasrah'.

Hampir tidak ada sanggahan dari audience di Ruang Motivasi. Relasi yang tercipta tidak setara. Di ruang itu 'kebenaran' menjadi seolah mutlak milik si Motivator. Dia berbicara dan mendengar bukan untuk dibantah, melainkan untuk didengar (memberi solusi). Ini justru menjadi semacam pengukuhan eksitensinya di ruang tersebut.

Mungkin tidak adil  membandingkan Motivator dengan Ilmuwan. Keduanya berbeda 'medan pertempuran'. Tapi mari kita lihat menggunakan konsep Analog.

Ilmuwan memecahkan suatu persoalan kelimuan di luar pribadi si Ilmuwan. Ada suatu Ruang dan Jarak tertentu antara obyek kajian dan pribadi si Ilmuwan. Sementara seorang Motivator berkaitan dengan manusia hidup. Tepatnya kehidupan kekinian. Hampir tidak ada jarak antara si Manusia dengan Persoalan. Keduanya bagai menyatu. Namun secara ruang, si Motivator berjarak dengan persoalan manusia atau auidence-nya

Seorang ilmuwan 'berjarak' dengan persoalan di bidang kepakarannya. Tapi bukan berarti pertanggungjawabannya tidak menyangkut sisi pribadinya. Ketika sebuah persoalan terkait kepakarannya digugat, maka eksistensinya-dalam hal ini pribadinya-turut terlibat. Persoalan 'medan pertempuran' ilmuwan jadi mengerucut ke ranah pribadi. Dari hal itu, untuk survive atau dia mempertahankan eksistensinya maka saat di ruang publik (forum ilmiah) si Ilmuwan Harus mau menerima sanggahan dan mendengar kebenaran baru. Ini sudah jadi kesepakatan dunia kelimuan.

[caption caption="Ilustrasi II sumber gambar : https://lauransiago.files.wordpress.com/2014/10/gender-bending.jpg"]

[/caption]

Di pihak lain, seorang Motivator Kondang tentu punya 'konsep' universal di bidang 'kepakarannya', misalnya ; 'Mendengar suara hati' ; 'Belajarlah dari pengalaman orang lain' ; 'Jadilah pendengar yang baik' ; 'Bersikap berjiwa besar' dan lain sebagainya. Didalam 'konsep' itu ada 'ruang pertempuran' tersendiri bagi si Motivator yakni antara ego-ied, ambisi-hasrat dengan konsep universal tadi. Ruang sanggahnya ada di dalam diri si Motivator. Ruang itu adalah ruang tertutup, bukan ruang publik seperti forum ilmiah si Ilmuwan. Walaupun tertutup, di ruang itu si Motivator dituntut untuk mau mendengar dan harus bersedia menerima kebenaran dari sanggahan yang dihadirkan oleh dirinya sendiri. Dia sejatinya terbiasa menghadapi 'pertempuran' itu dengan sikap sama dengan ilmuwan.

Medan pertempuran ilmuwan bersifat terbuka di hadapan orang banyak, sementara Motivator Kondang bersifat tertutup yakni di dalam pikiran dan hatinya. Jalannya pertempuran tertutup itu jarang ditahui publik. Sikap si Motivator tak pernah terpublish  sebelum sebuah peristiwa besar menimpa si Motivator.

Di ruang pertempuran tertutup itu bila dia sudah membiasakan diri seperti seorang ilmuan, yakni menerima 'perbedaan' ; 'bersedia disanggah' dan 'menerima kebenaran baru' secara sportif maka tak akan ada peristiwa besar berkaitan pribadi si Motivator akan terungkap keluar dan menjadi konsumsi publik. Masalah bisa diselesaikan oleh sosok pribadinya di ruang tertutup tadi, kemudian di 'ruang terbuka yang tertutup' pula dia tuntaskan dengan pihak/orang lain yang bermasalah dengannya. Semua itu dilakukan selagi masalah pribadi masih berskala kecil.

Kalau ada hipotesa, teori, metoda Ilmiah si Motivator yang kemudian ditampilkannya di ruang terbuka tak akan mampu menolongnya. Sudah terlambat karena hal itu harusnya sudah dilakukan di ruang tertutup di dalam dirinya sendiri.

Harusnya si Motivator kondang menyadari sejak awal bahwa dirinya bukan pendengar di ruang terbuka. Dia bukan pakar 'pertempuran' ruang terbuka melainkan ruang tertutup. Ketika mencoba bertempur di ruang terbuka maka habislah dia. Tanpa ampun.

------

Peb12/09/2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun