Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Dua Dunia Seksi Didalam Menulis

2 September 2016   12:09 Diperbarui: 2 September 2016   12:41 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/09/berpikirkritis-56b8fafe8823bdbf0dc9e8f4.jpeg?v=400&t=o

Wacana teori dan kritik tentang ‘lahirnya’ tulisan sangat jarang dibahas penulis di Kompasiana. Kondisi itu bisa dipahami, karena tak semua orang mau berpusing ria dengan wacana yang dianggap ‘njilmet’. Inginnya yang ringan-ringan saja. Pokoknya sekali baca langsung ‘maknyos’ dipahami, setelah itu bisa berpindah ke lain tulisan yang menunggu dijamah. Sementara sebaliknya wacana Teori dan Kritik (theory and critism) mengajak orang untuk ‘berkutat’ secara filosofis tentang sesuatu hal tertentu. Seringkali dimata awam hal itu terkesan ‘mengada-ada’ dan bikin rumit sendiri. Terkadang seperti penampakan yang saru dan tabu: ‘Kenapa sih kayak gituan dibicarakan? Nggak banget deh, ah!..Sudah sana pakai celana dulu, nanti lebih kita bertamasya ke banyak kanal asik di Kompasiana. Heu..heu...!

Banyak orang tidak sadar atau tidak mau tahu bahwa wacana teori dan kritik ‘lahirnya’ tulisan merupakan destinasi tamasya yang tak kalah menariknya. Bukankah sesuatu yang 'Saru' itu seksi, selalu menarik diintip, atau digeluti guna mendapatkan kepuasan batiniah (pikiran)?

Pembaca sebagai penikmat tulisan, secara sadar atau tidak, berharap dibuai kedalam teks dan konteks tulisan yang dibacanya. Saat membaca artikel tentang Ahok dan Yusril jelang Pilkada DKI, pembaca dihanyutkan pada sosok kedua tokoh tersebut, membayangkan tingkah polah mereka yang berebut pengaruh publik. Muncul tendensi pribadi pembaca terhadap salah satu tokoh itu dan meniadakan lainnya. Setiap diksi artikel tersebut dibaca dan dipahami, sehingga menghanyutkan pikiran-pemahaman subyektif pembaca. Jadinya, pembaca terhanyut pada sosok pribadi Ahok dan Yusril dan suasana Pilkada DKI. Tanpa pembaca sadari, pilihan diksi di artikel itu telah memprovokasi pembacanya. Diksi telah men-drive pikiran pembaca!

Satu contoh lagi, sebuah tulisan humaniora bertema ‘Seorang pemulung yang membangun taman bacaan di lingkungan tempat tinggalnya’. Dengan apik si Penulis menyampaikan reportasenya dilengkapi gambar-gambar mencolok mata. Dipilihnya diksi yang mampu membuat para Pembaca pun masuk kedalam suasana kehidupan si Pemulung. Terungkap sejumlah pengalaman dan padangan sederhana si Pemulung yang tak pernah terpikirkan orang banyak. Akhirnya pembaca larut didalam artikel itu dan muncul perasaan simpati, iba, salut, dan lain sebagainya.

Kedua contoh tadi saya ketegorikan sebagai bertamasya ke wacana populis. Penjelajahan dan penyajian artikel oleh si Penulis tidak ‘Saru’. Pembacanya pun dibikin tetap ‘sehat walafiat’ karena otaknya tidak berkerut. Heu heu heu...! Marah sedikit disebabkan provokasi diksi si Penulis itu biasa. Fokus pembaca terbangun oleh obyek tulisan politik tersebut, bukan pada diksi (kata) yang hanya ‘pengantar’ informasi/pesan si Penulis. Sebanding halnya dengan perasaan suka-cita atau terharu pada tulisan humaniora tadi.

sumber gambar : https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/09/berpikirkritis-56b8fafe8823bdbf0dc9e8f4.jpeg?v=400&t=o
sumber gambar : https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/09/berpikirkritis-56b8fafe8823bdbf0dc9e8f4.jpeg?v=400&t=o
Kembali ke wacana teori dan kritik (theory and criticism) tentang ‘Lahirnya’ tulisan, pada destinasi ini sifatnya berbeda dengan tamasya ke destinasi wacana populis. Tamasya ke destinasi teori dan kritik membuat pembaca mendapatkan pengalaman baru saat melihat dan menyimak sebuah tulisan itu bisa lahir.

Bagaimana wujudnya?

Berikut ini adalah salah satu contoh.

Dalam dua minggu di bulan Agustus ini tiga orang Kompasianer ‘Saru’, yakni Felix Tani, S. Aji dan Trianto Severus menghadirkan artikel ‘Saru’ di layar Kompasiana. Tulisan Kompasianer S. Aji berjudul ‘Narsisus dan Suara dalam Kepala’ dan ‘Tentang Suara dan Kata-kata’. Kedua tulisan itu masing-masing ditanggapi oleh Kompasianer Felix Tani dengan judul ‘Tulisan Adalah Penjara Kata’ dan  ‘Metode Tulisku Adalah Tanpa Metode’. Ditengah berpagutnya Felix Tani-S. Aji muncul Trianto Severus dengan tulisan berjudul ‘Pada Mulanya Bukan Kebebasan atau Penjara, tetapi Kata

Ketiga orang ‘Saru’ ini bertamasya ke wacana teori dan kritik (theory and critism).  Mereka saling berpagut di dalam mengkritisi ruang ‘Pikiran, Kata dan Tulisan’. Mereka mencoba mengkritisi dan ‘membangun teori’ dari pengalaman empiris mereka ketika memproduksi tulisan. Pengalaman empiris adalah pengalaman yang langsung dialami oleh si Penulis dalam hal ini ketiga orang ‘saru’ tersebut. Apa yang mereka ungkap kemudian bukan semata pengalaman empiris pribadi sebagai Penulis, namun menjadi cermin bagi Pembaca yang berkutat dalam dunia menulis. Mereka berbagi, dari pengalaman diri yang memungkinkan menjadi pengalaman bersama.

Dari pergulatan ketiga orang penulis ‘saru’ itu, secara umum memperlihatkan ada dua dunia yang terpisah namun masih dalam satu roh di dalam pengalaman empiris kegiatan menulis. Yang pertama adalah dunia ide (idea) sementara yang kedua adalah dunia kerja (action). Kedua dunia ini dijembatani oleh pikiran (think).

sumber gambar : https://osolihin.files.wordpress.com/2015/07/kesadaran-menulis56.jpeg
sumber gambar : https://osolihin.files.wordpress.com/2015/07/kesadaran-menulis56.jpeg
Dunia ide merupakan suatu kondisi dimana si Penulis dalam ‘kegalauannya’ untuk menghasilkan sebuah tulisan. Ada begitu banyak ide-ide yang bermunculan dan berterbangan di dalam benak, yang oleh Kompasianer S. Aji mengungkapkannya dengan wacana ’suara-suara’. Banyaknya ide-suara itu menyebabkan munculnya ‘kegelisahan’ seorang penulis yang dipikirkannya akan diwujudkan dalam kata. Dari kata inilah akan menjadi cikal bakal sebuah tulisan. Permasalahannya adalah bangaimana menjadikan sura-ide itu menjadi kata? Apa yang harus dilakukan? Bagaimana memperlakukan kata-kata tersebut sehingga menjadi tulisan?  Apakah harus dikategorikan sehingga kata tersebut layak ditampikan sebagai cikal bakal kalimat? Bagaimana mengkategorikannya? Demikian seterusnya pertanyaan itu diungkap sebagai wacana kritis.

Pada kegalauannya itu, S. Aji menganggap ide-suara itu seperti terkekang didalam benaknya, dia ingin segera memerdekakannya ; “Saya ingin memerdekakan suara-suara itu, melepasnya menjadi kata-kata bercerita. Meski begitu, meski setiap pagi yang telah rutin, suara-suara dalam kepala itu tidak selalu mudah merdeka.”

Pengalaman empiris seperti ini apakah pernah pembaca alami ketika akan menulis? Heu..heu..heu...! jujur saja, umumnya pernah mengalami, hanya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pada wacana kritis inilah kita belajar mengungkapkannya sebagai sebuah tulisan tersendiri ! Inilah salah satu pembelajaran yang didapat, dan bisa dibagi ke semua pembaca.

Kompasianer Felix Tani melihat kondisi itu dengan cara yang berbeda. Dia justru tidak ingin memerdekakan suara-suara itu, melainkan ‘memenjarakannya’ dalam bentuk kata. Kata adalah penjara terindah dan terbaik bagi suara-ide di dalam benak. Maka jadilah cikal bakal tulisan. Konteks merdeka bagi S. Aji dan Felix Tani berbeda. Keberbedaan itu didasarkan pada sudut pandang atau pijakan yang tak sama. Kompasianer S. Aji berpikir dengan menempatkan suara-suara itu sebagai obyek.

Kompasianer S Aji selaku penulis yang sedang galau mengambil jarak dengan suara-suara tadi, walau sebenarnya dia adalah ‘bapak kandung’ dari suara-suara itu sendiri hasil persengggamaannya dengan waktu dan realitas sekitar dirinya. Artinya, S. Aji dan suara-suara itu adalah ‘dua mahluk’ yang terpisah. Padahal suara-suara itu sejatinya adalah benih dia sendiri. Dia memiliki cara pandang tersendiri terhadap permasalahan suara-suara tersebut. Dengan cara berpikir positivistik, S. Aji  ingin berlaku sebagai ‘pembebas’ keterkungkungan suara-suara itu dan kemudian menemukan konsepnya, yakni membantu/memberi kemerdekaan ! Cara memerdekakannya adalah dengan menjadikan suara (ide) itu menjadi kata-kata!

Sementara dasar pijakan Kompasianer Felix Tani berbeda dengan S. Aji. Kompasianer Felix Tani menempatkan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari suara-suara tersebut. Dia sadar sebagai bapak biologis suara-suara itu. Dia bisa merasakan bagaimana menjadi suara-suara itu, sekaligus disisi lain dirinya sebagai ‘penulis yang galau’. Dengan cara berpikir etnografis, dia beranggapan bahwa kemerdekaan itu adalah tidak membuat suara-suara itu berubah karena di dalam benak, suara –suara itu bebas merdeka terbang kesana-kemari. Hakekatnya bahwa ide adalah sebuah kemerdekaan !

Ketika suara-suara (idea) itu kemudian diubah menjadi kata-kata, maka yang terjadi adalah keterkungkungan. Kata adalah Penjara bagi ide (suara-suara) tadi. Kata dibentuk dan dikuasai oleh penulis dengan maksud tertentu untuk disajikan kepada pembaca. Penulis memiliki modus didalam kata-kata itu sendiri. Suara-suara yang tadinya merdeka, telah dijadikan Kata dan dikomodifikasi jadi Alat bagi si Penulis untuk memenuhinya hasratnya terhadap ‘makna’. Dan ‘makna’ itu adalah komoditas dagangannya kepada pembaca.

Dalam pandangan Felix Tani, komodifikasi suara-ide menjadi alat (kata) adalah sebuah keterkungkungan, tak lagi punya kebebasan makna. Namun begitu, untuk menulis dibutuhkan keberanian menjadi seorang seorang yang otoriter, harus mau bertidak anarkis terhadap suara-ide karena kalau tidak tak akan bernah terwujud sebuah kata atau tulisan.

sumber gambar : https://c1.staticflickr.com/7/6072/6118337276_74d4e541aa_b.jpg
sumber gambar : https://c1.staticflickr.com/7/6072/6118337276_74d4e541aa_b.jpg
Manfaat Wacana Kritis bagi Pembaca

Begitulah ulasan salah satu bagian dari pergulatan yang saling berpagut antar Kompasianer S. Aji dengan Felix Tani.  Disana pembaca diajak bertamasya menyaksikan etalase-etalase pergulatan seorang Penulis dalam menghasilkan tulisan. Ada sajian timeline (urutan waktu dan peristiwa) yang dialami seorang penulis, mengetahui titik perhentian, memahami momen perkelahian si Penulis dengan dirinya sendiri, serta  dan mendapatkan ide dari keputusan si Penulis di dalam prosesnya menghasilkan tulisan.

Saat tamasya itu, secara sadar atau tidak, pembaca artikel melihat dirinya sendiri sebagai pelaku peristiwa menulis. Dia datang ke destinasi bukan semata menikmati hasil karya ‘tulisan opini/reportase’ yang merupakan sesuatu hal diluar diri si Penulis, melainkan mengalami sendiri proses menghasilkannya. Wacana teori dan kritik itu menjadi cermin besar yang membuat si Pembaca ‘ditelanjangi’ oleh si Penulis yang berwujud cermin tadi. Para pembaca wacana kritis itu bertamasya namun dibuat tersadar tak bercelana, heu heu heu...rasain !

Melalui tulisan wacana kritis tersebut kita diajak untuk turut berpikir tentang pengalaman empiris ketika menghasilkan tulisan, mengetahui seperti apa kondisi yang dihadapi dan mengenali diri lebih jauh di dalam  proses menghasilkan tulisan. Kelak dengan sejumlah pengalaman empiris yang sudah dilalui bisa mendapatkan suatu strategi jitu untuk menulis. Strategi itu adalah milik anda sebagai Penulis, namun tidak Saru untuk dibagikan ke semua pembaca.

-------

Pebrianov 02/09/2016

Referensi :

S. Aji ; Satu, Dua

Trianto Severius ; Satu

Felix Tani : SatuDua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun