Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Dua Dunia Seksi Didalam Menulis

2 September 2016   12:09 Diperbarui: 2 September 2016   12:41 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://osolihin.files.wordpress.com/2015/07/kesadaran-menulis56.jpeg

sumber gambar : https://osolihin.files.wordpress.com/2015/07/kesadaran-menulis56.jpeg
sumber gambar : https://osolihin.files.wordpress.com/2015/07/kesadaran-menulis56.jpeg
Dunia ide merupakan suatu kondisi dimana si Penulis dalam ‘kegalauannya’ untuk menghasilkan sebuah tulisan. Ada begitu banyak ide-ide yang bermunculan dan berterbangan di dalam benak, yang oleh Kompasianer S. Aji mengungkapkannya dengan wacana ’suara-suara’. Banyaknya ide-suara itu menyebabkan munculnya ‘kegelisahan’ seorang penulis yang dipikirkannya akan diwujudkan dalam kata. Dari kata inilah akan menjadi cikal bakal sebuah tulisan. Permasalahannya adalah bangaimana menjadikan sura-ide itu menjadi kata? Apa yang harus dilakukan? Bagaimana memperlakukan kata-kata tersebut sehingga menjadi tulisan?  Apakah harus dikategorikan sehingga kata tersebut layak ditampikan sebagai cikal bakal kalimat? Bagaimana mengkategorikannya? Demikian seterusnya pertanyaan itu diungkap sebagai wacana kritis.

Pada kegalauannya itu, S. Aji menganggap ide-suara itu seperti terkekang didalam benaknya, dia ingin segera memerdekakannya ; “Saya ingin memerdekakan suara-suara itu, melepasnya menjadi kata-kata bercerita. Meski begitu, meski setiap pagi yang telah rutin, suara-suara dalam kepala itu tidak selalu mudah merdeka.”

Pengalaman empiris seperti ini apakah pernah pembaca alami ketika akan menulis? Heu..heu..heu...! jujur saja, umumnya pernah mengalami, hanya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pada wacana kritis inilah kita belajar mengungkapkannya sebagai sebuah tulisan tersendiri ! Inilah salah satu pembelajaran yang didapat, dan bisa dibagi ke semua pembaca.

Kompasianer Felix Tani melihat kondisi itu dengan cara yang berbeda. Dia justru tidak ingin memerdekakan suara-suara itu, melainkan ‘memenjarakannya’ dalam bentuk kata. Kata adalah penjara terindah dan terbaik bagi suara-ide di dalam benak. Maka jadilah cikal bakal tulisan. Konteks merdeka bagi S. Aji dan Felix Tani berbeda. Keberbedaan itu didasarkan pada sudut pandang atau pijakan yang tak sama. Kompasianer S. Aji berpikir dengan menempatkan suara-suara itu sebagai obyek.

Kompasianer S Aji selaku penulis yang sedang galau mengambil jarak dengan suara-suara tadi, walau sebenarnya dia adalah ‘bapak kandung’ dari suara-suara itu sendiri hasil persengggamaannya dengan waktu dan realitas sekitar dirinya. Artinya, S. Aji dan suara-suara itu adalah ‘dua mahluk’ yang terpisah. Padahal suara-suara itu sejatinya adalah benih dia sendiri. Dia memiliki cara pandang tersendiri terhadap permasalahan suara-suara tersebut. Dengan cara berpikir positivistik, S. Aji  ingin berlaku sebagai ‘pembebas’ keterkungkungan suara-suara itu dan kemudian menemukan konsepnya, yakni membantu/memberi kemerdekaan ! Cara memerdekakannya adalah dengan menjadikan suara (ide) itu menjadi kata-kata!

Sementara dasar pijakan Kompasianer Felix Tani berbeda dengan S. Aji. Kompasianer Felix Tani menempatkan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari suara-suara tersebut. Dia sadar sebagai bapak biologis suara-suara itu. Dia bisa merasakan bagaimana menjadi suara-suara itu, sekaligus disisi lain dirinya sebagai ‘penulis yang galau’. Dengan cara berpikir etnografis, dia beranggapan bahwa kemerdekaan itu adalah tidak membuat suara-suara itu berubah karena di dalam benak, suara –suara itu bebas merdeka terbang kesana-kemari. Hakekatnya bahwa ide adalah sebuah kemerdekaan !

Ketika suara-suara (idea) itu kemudian diubah menjadi kata-kata, maka yang terjadi adalah keterkungkungan. Kata adalah Penjara bagi ide (suara-suara) tadi. Kata dibentuk dan dikuasai oleh penulis dengan maksud tertentu untuk disajikan kepada pembaca. Penulis memiliki modus didalam kata-kata itu sendiri. Suara-suara yang tadinya merdeka, telah dijadikan Kata dan dikomodifikasi jadi Alat bagi si Penulis untuk memenuhinya hasratnya terhadap ‘makna’. Dan ‘makna’ itu adalah komoditas dagangannya kepada pembaca.

Dalam pandangan Felix Tani, komodifikasi suara-ide menjadi alat (kata) adalah sebuah keterkungkungan, tak lagi punya kebebasan makna. Namun begitu, untuk menulis dibutuhkan keberanian menjadi seorang seorang yang otoriter, harus mau bertidak anarkis terhadap suara-ide karena kalau tidak tak akan bernah terwujud sebuah kata atau tulisan.

sumber gambar : https://c1.staticflickr.com/7/6072/6118337276_74d4e541aa_b.jpg
sumber gambar : https://c1.staticflickr.com/7/6072/6118337276_74d4e541aa_b.jpg
Manfaat Wacana Kritis bagi Pembaca

Begitulah ulasan salah satu bagian dari pergulatan yang saling berpagut antar Kompasianer S. Aji dengan Felix Tani.  Disana pembaca diajak bertamasya menyaksikan etalase-etalase pergulatan seorang Penulis dalam menghasilkan tulisan. Ada sajian timeline (urutan waktu dan peristiwa) yang dialami seorang penulis, mengetahui titik perhentian, memahami momen perkelahian si Penulis dengan dirinya sendiri, serta  dan mendapatkan ide dari keputusan si Penulis di dalam prosesnya menghasilkan tulisan.

Saat tamasya itu, secara sadar atau tidak, pembaca artikel melihat dirinya sendiri sebagai pelaku peristiwa menulis. Dia datang ke destinasi bukan semata menikmati hasil karya ‘tulisan opini/reportase’ yang merupakan sesuatu hal diluar diri si Penulis, melainkan mengalami sendiri proses menghasilkannya. Wacana teori dan kritik itu menjadi cermin besar yang membuat si Pembaca ‘ditelanjangi’ oleh si Penulis yang berwujud cermin tadi. Para pembaca wacana kritis itu bertamasya namun dibuat tersadar tak bercelana, heu heu heu...rasain !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun