Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Dua Dunia Seksi Didalam Menulis

2 September 2016   12:09 Diperbarui: 2 September 2016   12:41 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://c1.staticflickr.com/7/6072/6118337276_74d4e541aa_b.jpg

Wacana teori dan kritik tentang ‘lahirnya’ tulisan sangat jarang dibahas penulis di Kompasiana. Kondisi itu bisa dipahami, karena tak semua orang mau berpusing ria dengan wacana yang dianggap ‘njilmet’. Inginnya yang ringan-ringan saja. Pokoknya sekali baca langsung ‘maknyos’ dipahami, setelah itu bisa berpindah ke lain tulisan yang menunggu dijamah. Sementara sebaliknya wacana Teori dan Kritik (theory and critism) mengajak orang untuk ‘berkutat’ secara filosofis tentang sesuatu hal tertentu. Seringkali dimata awam hal itu terkesan ‘mengada-ada’ dan bikin rumit sendiri. Terkadang seperti penampakan yang saru dan tabu: ‘Kenapa sih kayak gituan dibicarakan? Nggak banget deh, ah!..Sudah sana pakai celana dulu, nanti lebih kita bertamasya ke banyak kanal asik di Kompasiana. Heu..heu...!

Banyak orang tidak sadar atau tidak mau tahu bahwa wacana teori dan kritik ‘lahirnya’ tulisan merupakan destinasi tamasya yang tak kalah menariknya. Bukankah sesuatu yang 'Saru' itu seksi, selalu menarik diintip, atau digeluti guna mendapatkan kepuasan batiniah (pikiran)?

Pembaca sebagai penikmat tulisan, secara sadar atau tidak, berharap dibuai kedalam teks dan konteks tulisan yang dibacanya. Saat membaca artikel tentang Ahok dan Yusril jelang Pilkada DKI, pembaca dihanyutkan pada sosok kedua tokoh tersebut, membayangkan tingkah polah mereka yang berebut pengaruh publik. Muncul tendensi pribadi pembaca terhadap salah satu tokoh itu dan meniadakan lainnya. Setiap diksi artikel tersebut dibaca dan dipahami, sehingga menghanyutkan pikiran-pemahaman subyektif pembaca. Jadinya, pembaca terhanyut pada sosok pribadi Ahok dan Yusril dan suasana Pilkada DKI. Tanpa pembaca sadari, pilihan diksi di artikel itu telah memprovokasi pembacanya. Diksi telah men-drive pikiran pembaca!

Satu contoh lagi, sebuah tulisan humaniora bertema ‘Seorang pemulung yang membangun taman bacaan di lingkungan tempat tinggalnya’. Dengan apik si Penulis menyampaikan reportasenya dilengkapi gambar-gambar mencolok mata. Dipilihnya diksi yang mampu membuat para Pembaca pun masuk kedalam suasana kehidupan si Pemulung. Terungkap sejumlah pengalaman dan padangan sederhana si Pemulung yang tak pernah terpikirkan orang banyak. Akhirnya pembaca larut didalam artikel itu dan muncul perasaan simpati, iba, salut, dan lain sebagainya.

Kedua contoh tadi saya ketegorikan sebagai bertamasya ke wacana populis. Penjelajahan dan penyajian artikel oleh si Penulis tidak ‘Saru’. Pembacanya pun dibikin tetap ‘sehat walafiat’ karena otaknya tidak berkerut. Heu heu heu...! Marah sedikit disebabkan provokasi diksi si Penulis itu biasa. Fokus pembaca terbangun oleh obyek tulisan politik tersebut, bukan pada diksi (kata) yang hanya ‘pengantar’ informasi/pesan si Penulis. Sebanding halnya dengan perasaan suka-cita atau terharu pada tulisan humaniora tadi.

sumber gambar : https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/09/berpikirkritis-56b8fafe8823bdbf0dc9e8f4.jpeg?v=400&t=o
sumber gambar : https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/02/09/berpikirkritis-56b8fafe8823bdbf0dc9e8f4.jpeg?v=400&t=o
Kembali ke wacana teori dan kritik (theory and criticism) tentang ‘Lahirnya’ tulisan, pada destinasi ini sifatnya berbeda dengan tamasya ke destinasi wacana populis. Tamasya ke destinasi teori dan kritik membuat pembaca mendapatkan pengalaman baru saat melihat dan menyimak sebuah tulisan itu bisa lahir.

Bagaimana wujudnya?

Berikut ini adalah salah satu contoh.

Dalam dua minggu di bulan Agustus ini tiga orang Kompasianer ‘Saru’, yakni Felix Tani, S. Aji dan Trianto Severus menghadirkan artikel ‘Saru’ di layar Kompasiana. Tulisan Kompasianer S. Aji berjudul ‘Narsisus dan Suara dalam Kepala’ dan ‘Tentang Suara dan Kata-kata’. Kedua tulisan itu masing-masing ditanggapi oleh Kompasianer Felix Tani dengan judul ‘Tulisan Adalah Penjara Kata’ dan  ‘Metode Tulisku Adalah Tanpa Metode’. Ditengah berpagutnya Felix Tani-S. Aji muncul Trianto Severus dengan tulisan berjudul ‘Pada Mulanya Bukan Kebebasan atau Penjara, tetapi Kata’

Ketiga orang ‘Saru’ ini bertamasya ke wacana teori dan kritik (theory and critism).  Mereka saling berpagut di dalam mengkritisi ruang ‘Pikiran, Kata dan Tulisan’. Mereka mencoba mengkritisi dan ‘membangun teori’ dari pengalaman empiris mereka ketika memproduksi tulisan. Pengalaman empiris adalah pengalaman yang langsung dialami oleh si Penulis dalam hal ini ketiga orang ‘saru’ tersebut. Apa yang mereka ungkap kemudian bukan semata pengalaman empiris pribadi sebagai Penulis, namun menjadi cermin bagi Pembaca yang berkutat dalam dunia menulis. Mereka berbagi, dari pengalaman diri yang memungkinkan menjadi pengalaman bersama.

Dari pergulatan ketiga orang penulis ‘saru’ itu, secara umum memperlihatkan ada dua dunia yang terpisah namun masih dalam satu roh di dalam pengalaman empiris kegiatan menulis. Yang pertama adalah dunia ide (idea) sementara yang kedua adalah dunia kerja (action). Kedua dunia ini dijembatani oleh pikiran (think).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun