Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hak Prerogatif Megawati Lebih dari Apapun

21 Agustus 2016   23:55 Diperbarui: 22 Agustus 2016   09:54 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nak, kau boleh pacaran dengan siapapun. Carilah pacarmu sebaik-baiknya. Namun kalau kelak kamu mau kawin, Ibulah yang menentukan calonmu dan jadi/tidaknya kamu kawin"

------

Kabar Mega beri angin dukungan pada Ahok makin merebak hangat. Pro dan kontra bukan hanya di kalangan masyarakat luas, tetapi juga terjadi di internal partai, salah satu petandanya adalah munculnya lagu 'Tumbangkan Ahok'.

Partai PDIP berjalan dengan suatu' sistem' dan satu 'misteri'. Sistem berkaitan dengan kesepakatan bersama yang diwujudkan dalam AD/ART tertulis. Dimana misteri-nya? Misterinya ada di Hak Prerogatif Ketua Umum Megawati. Sebagai sebuah partai yang (mengaku) modern, sistem boleh dan harus berjalan sesuai yang tertulis. Namun pada titik kritis tertentu bukan 'sistem' yang digunakan, melainkan 'misteri' (Hak Prerogatif Ibu Mega). Titik kritis itu misalnya soal penunjukan calon presiden atau kepala daerah yang diusung partai. Ketika sudah sampai di titik kritis itu, apakah ini masih masuk kategori modern, setengah modern atau Kuno (tidak modern) 'tak lagi dipermasalahkan'. Yang jelas Hak Prerogatif Megawati diatas apapun.

Sedikit membandingkan dengan Golkar yang juga modern. Di tubuh Golkar tidak ada Hak Prerogatif Ketua Umum untuk mengajukan calon pemimpin daerah. Keputusan paling tinggi ada pada para ketua secara kolegial. Artinya oleh para ketua di DPP.

Sejauh masih ada 'hak prerogatif bu Mega' dalam PDIP maka mekanisme panjaringan kandidat kepala daerah yang dilakukan hanya  pelengkap atau 'seremonial' saja biar dianggap partai modern. Prerogatif itu sendiri bernafas 'tidak modern' karena tergantung pada sosok subyektif satu orang, seperti halnya Raja jaman dahulu.

Pada konteks itu, Ahok diuntungkan 'ketidakmodernan' PDIP karena punya peluang besar diajukan oleh bu Mega dengan prerogatifnya yang didasarkan Insting dan Naluri politik Megawati. Kemampuan Ahok memasuki ruang subyektif Ibu Megawati menjadi kunci bagi Ahok 'menyentuh dan mengantongi' Hak Prerogatif Megawati.

Tak Ada Kejutan pada Hak Prerogatif

Bukan hal mengejutkan seandainya kelak Megawat menunjuk Ahok (dan Jarot) yang maju di Pilkada DKI2017. Soal 'ribut' kader yang tidak setuju itu biasa,  'No Problemo' bagi Megawati. Masih banyak kader lain yang mendukung keputusan itu atas dasar 'kepentingan pribadi' di dalam partai. Maka kata-kata yang muncul adalah 'inilah dinamika partai kami'. Dengan dinamika ini kami semakin dewasa terhadap perbedaan.

Bukan tidak mungkin 'keributan' internal partai PDIP adalah sebuah sandiwara belaka. Pelakunya adalah loyalis Megawati yang cinta mati pada partai dan sosok kepemimpinan Megawati. Sandiwara itu dilakukan untuk tujuan banyak hal ; Pertama, melihat dan memetakan musuh dalam selimut ; Kedua, menguji kecintaan kader pada partai; Ketiga, menampilkan sosok partai dinamis dimata pihak luar, baik terhadap sesama partai politik maupun masyarakat awam. Keempat dan seterusnya diserahkan pada 'keributan' (penilaian) media dan masyarakat guna memetakan dan menyusun strategi partai untuk meraih hati rakyat diwaktu yang akan datang.

Ideologi dan Sejarah pada Preogratif

Partai PDIP merupakan partai yang bersandarkan Ideologi dan Sejarah bangsa. Inilah kekuatan mereka yang sulit dibantah pihak manapun. Dengan adanya Hak Prerogatif Ibu Megawati sandaran itu jadi nampak Paradoks. Seolah Ideologi dan Sejarah hanya dari Ketua Umum Megawati. Namun kenyataannya memang demikian. Megawati adalah tali sejarah yang hidup, dan pengampu Ideologi Nasionalis yang nyata. Disinilah uniknya PDIP. Hasilnya adalah militansi kader yang masif.

Keunikan itu tak dimiliki partai lain. Setidaknya, sepanjang ibu Megawati masih hidup. Bagaimana PDIP memikul sejarah ke depan? Tergantung para kadernya, apakah militansi yang sudah ada itu hanya sebuah 'rutinitas kumpulan acara keluarga' selama Ibu ketua masih sehat dan aktif, atau usai acara keluarga mereka bubar dan cari hidup sendiri?

Waktu yang akan menentukan.

------

Pebrianov21/08/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun