Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi, Tragedi dan Harapan Dalam Tradisi Hari Raya

6 Juli 2016   21:44 Diperbarui: 7 Juli 2016   11:38 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisakah Anda merasakan mengalami peristiwa Macet di jalan berpuluh jam lamanya? Bisa ya dan bisa tidak, tergantung informasi, pemahaman dan tingkat empati terhadap situasi lapangan.

Macet merupakan kejadian biasa dalam perjalanan Mudik hari raya, namun menjadi peristiwa luar biasa ketika di dalamnya ada dimensi Tragedi, Ironi dan Harapan-hasil akumulasi waktu setahun. Ketiganya muncul berdampingan, dan bersahabat erat di dalam ritus mudik massal pada hari raya. Fenomena ketiga hal tersebut bisa kompak dalam  satu momentum celakanya seringkali menimbulkan korban, baik materi dan non materi bahkan nyawa manusia.

Para pemudik merupakan Pelaku sekaligus Korban peristiwa Macet. Karena mereka lah macet itu ada, dan mereka juga yang 'menuai' Macet.

Bagi para Pemudik, dimensi Harapan yang mereka bawa tak menjadikan konteks 'Pelaku dan Korban' tadi sebagai bagian dari penderitaan perjalanan karena Macet kalah 'gaung dan size' dibandingkan 'Harapan' yang mereka miliki di ritus Mudik. Inilah sebuah fenomena unik, sekaligus sebagai pengecualian Penderitaan Macet pada hari-hari biasa.

Ironi dalam ritus Mudik muncul ketika pemerintah selaku otoritas penyedia infrastruktur jalan-transportasi dibuat tak berkutik oleh Macet, sementara ritus Mudik sendiri bukan hal baru. Macet menjadi 'tradisi jalanan' jelang hari raya sejak dahulu. Macet menjadi aksen repetitif pada. ritual Mudik.

Didalam Ironi ada 'Tragedi' ; Kesedihan muncul dan menjadi bagian dari Macet. Emosi manusia Pemudik pun dipertaruhkan di tataran etika dan moral yang berlaku umum. Rasa sedih, kesal, dan marah tercipta dengan spontan. Namun, lagi-lagi 'Tragedi' tak mampu mengalahkan 'gaung dan size' Harapan. Harapan menjadikan Ironi dan Tragedi tak ada apa-apanya. 

Hari raya bagi masyarakat Indonesia bukan lagi menjadi kepentingan religi semata namun juga menjadi milik tradisi-non religi.

Konteks faktor geografis, geopolitis, dan lain sebagainya telah membawa masyarakat ke dalam perkembangannya sendiri. Beragam faktor tersebut telah menjadikan Hari Raya sebagai Tradisi. Salah satu wujudnya adalah munculnya Pemudik beserta kompleksitas 'Macet'.

Hebatnya, masyarakat Indonesia mampu bertahan di dalam kompleksitas itu karena adanya Harapan sebagai daya survival mereka. Hal ihwal seperti ini tidak dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia. Jadi walaupun Mudik Massal dipandang 'aneh' dan 'tidak rasional' oleh bangsa lain, kita jangan berkecil hati. Kita justru harus tetap bangga karena menjelang dan usai Hari Raya kita selalu membawa 'Harapan'.

Selamat Idul Fitri 1437 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

-----

Pebrianov06/07/2016 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun